Rabu, 03 Juli 2013

HUJAN






"Hal termanis yang pernah aku punya, ketika aku mengenalmu." "Kau datang membawa segudang kebahagiaan dan tawa." "Kau pergi memberiku kesedihan dan kehancuran."

Antara Cinta Dan Persahabatan

Aku tidak pernah berpikir jika hidupku bisa beranjak naik tingkatan setelah bertahun-tahun aku dan kedua orang tuaku hidup dalam kemiskinan dan menderita, selalu menerima ejekan orang-orang, dipandang sebelah mata, menyambung hidup dengan bermodalkan gitar kecil dan suara yang tidak begitu enak untuk didengar. Aku merasa bahwa hidupku digariskan Tuhan sebagai orang miskin seterusnya yang hidup mengamen di persimpangan jalan. Tapi, setelah aku mengenal Ferdy, hidupku jadi berubah total, bahkan aku tidak bisa mempercayainya dengan apa yang aku alami sekarang ini. Aku memiliki sebuah rumah yang besar, mobil mewah dan barang-barang berharga lainnya. Tiap kali mau pergi kesuatu tempat ada sopir pribadi yang siap untuk mengantar kemanapun aku mau pergi.  Lain sekali ketika aku masih miskin, tinggal disebuah rumah kardus dibawah jembatan layang, tiap mau pergi kesuatu tempat mesti jalan kaki untuk menempuhnya. Hidupku penuh kemudahan semenjak perubahan hidup yang aku alami. Aku bersyukur sekali, karena Tuhan masih sayang dan merubah hidupku melalui seorang Ferdy, seorang yang tidak pernah aku ketahui secara lengkap darimana dia berasal. Cowok berusia 24 tahun, wajahnya tidak begitu ganteng, nggak begitu suka dandan, namun ada satu hal yang aku kagumi dari dirinya, yaitu ketekunan dan kepinteran yang dia miliki.
Pagi itu, hari sangat cerah sekali. Aku terjaga dari tidur, kemudian bergegas membersihkan badanku dengan beberapa bilasan air, kemudian pergi ke tempat biasa, tidak lupa sebelumnya berpamitan kepada kedua orang tuaku. Di persimpangan jalan, tidak jauh, sekitar lima ratus meter dari tempat aku tinggal, aku bekerja untuk menyambung hidup dengan mengamen. Mulai sejak tamat sekolah dasar, aku selalu melakukan pekerjaan ini, jika tidak begini aku tidak bisa hidup. Darimana lagi aku bisa makan jika tidak mengamen, ini merupakan keahlian seni musik satu-satunya yang aku dapat di sekolah dasar dulu. Lumayan buat cari uang, daripada aku minta belas kasihan orang tanpa bekerja. Kedua orang tuaku tidak tiap hari mendapatkan uang, mereka hanya bekerja sebagai pemulung barang sisa minuman dan kardus. Karena itu aku tidak lanjut sekolah kelebih tinggi lagi, namun aku masih bisa membaca dan berhitung, terkadang orang tuaku mengajariku meski tidak sehebat seorang guru kebanyakan. Aku tidak pernah menyesali dengan hidup miskin dan memiliki kedua orang tua seperti mereka. Orang tuaku mengajariku untuk selalu berusaha dan pantang menyerah menjalani hidup ini, mereka selalu mengajariku untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Saat aku sampai dan akan memainkan gitar, alangkah terkejutnya aku, seorang cowok seumuranku dengan seenaknya bernyanyi dan menerima uang pemberian orang-orang di tempat biasa aku mengamen. Aku mengenal betul, siapa saja yang mengamen di sekitar tempat itu, namun kali ini aku tidak tahu siapa cowok itu. Padahal sudah ada aturan tidak boleh menempati daerah orang lain bekerja, setiap daerah sudah ada yang menempati, sudah dibagi-bagi sejak dulu. Kalaupun ada pendatang baru harus melapor terlebih dahulu. Dia memainkan gitarnya dengan lihai.
Aku mendekati dirinya yang sedang bersandar di pilar jembatan layang dengan asyik menghitung uang koin yang didapatnya dari hasil menyanyinya. Dari raut mukanya terlihat sekali kalau dia senang sekali, dan tidak merasa berbuat suatu kesalahan apapun.
"Anak baru ya?," tanyaku
Dia mengangguk tanpa berkata apapun, aku sedikit kesal padanya karena tidak memberikan jawaban
"Darimana?"
Dia hanya diam dan sekali lagi tidak memberikan jawaban
"Kamu datang dari mana?," tanyaku sekali lagi, agak membesarkan volume suaraku
"Apa urusannya denganmu?," jawabnya rada sewot
Aku tidak sabar ingin menghajarnya, namun hati kecilku mengatakan untuk tidak melakukannya, aku berusaha menenangkan diriku menahan sabar. Awalnya aku ingin tidak memperdulikan dia, namun mau gimana lagi ladangku dipakai oleh seorang yang dengan seenaknya sendiri menempati tempatku tanpa minta izin terlebih dahulu.
"Kalo kamu mau dapat uang, mari kita bernyanyi bersama," katanya
"Apa???? Maksudmu ngamen bareng?"
"Iya, kita ngamen bareng"
"Kamu tahu..., kamu telah berbuat kesalahan kepadaku."
"Kesalahan apa? Aku tidak pernah mengenalmu dan aku juga tidak pernah bertemu dengan kamu, terus aku berbuat salah apa terhadap kamu?"
Aku makin tidak sabar untuk menghajarnya sampai babak belur, biar kakinya tidak mampu berdiri dan mukanya memar-memar. Tanganku mulai gatal, begitu juga kakiku mulai kesemutan ingin menendangnya, namun aku tak kuasa untuk melakukannya. Ada suatu perasaan yang menghalangiku untuk tidak melakukannya.
Aku terdiam sejenak, setelah mendengar perkataannya barusan.
"Ayo.....!! Mau ga?,"ajaknya
"Ga......!! Ini tempatku dan aku yang pertama dan sudah lama aku mengamen di sini. Sedangkan kamu baru pertama kali di sini, aku rasa kamu mesti pergi dari sini, kamu itu mengganggu"
Tanpa berkata-kata lagi dia pergi menjauh meninggalkan aku, lalu duduk bersandar di pot bunga yang berada di bawah tepat fly over. Mungkin aku terlalu berbuat kasar pada dirinya, aku juga tidak mau ini terjadi. Aku membiarkan dirinya berada di sana, aku mulai memainkan gitarku dan bernyanyi. Sesekali aku pandangi dirinya, masih tetap saja terdiam di sana tidak beranjak kemana-mana. Aku lega dia tidak berbuat onar, tidak seperti pengamen yang lain jika diusir meninggalkan sisa perbuatan yang tidak menyenangkan. Tapi dia sangat berbeda sekali dengan pengamen yang selama ini aku temui atau aku kenal, dia tidak ada tampang sama sekali sebagai seorang pengamen.
Setelah aku mendapatkan cukup uang, aku membeli nasi bungkus dan sebotol minuman mineral di warung langgananku. Aku masih memerhatikan dia yang masih duduk di pot bunga, aku jadi tidak tega melihatnya, kemudian kuputuskan untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya.
"Ni....," aku menyodorkan makanan dan minuman
"Untukku?"
Aku mengangguk, dia membalas dengan tersenyum, kemudian kami makan bareng. Kami berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun selama makan.
"Terima kasih ya," katanya
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk makanan dan minuman yang kamu berikan."
"Itu tidak gratis ya."
"O...kalo gitu aku mesti bayar berapa?"
Aku tersenyum....... "Tidak, kamu tidak usah bayar, aku bercanda ko. Aku minta maaf ya, atas perbuatanku yang kasar mengusirmu."
"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf, tidak seharusnya aku menempati tempat kamu bekerja. O iya, kenalkan namaku Ferdy"
"Jingga"
"Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," katanya
"Gombal"
Aku tersipu malu mendengar perkataannya barusan. Saat itu aku tahu namanya, mulai sejak itu juga kami ngamen bareng.
***
Sudah enam bulan berlalu, aku mengenal Ferdy, aku pikir dia anak yang sama dengan anak yang selama ini aku ketahui, anak jalanan yang banyak tingkah, awut-awutan, hidupnya berantakan, bikin onar sana sini. Tapi tidak, dia seorang yang baik dan menyenangkan, memiliki selera humor, tidak terlalu banyak tingkah, juga tidak mudah marah mendengar perkataanku yang terkadang menyakiti dirinya. Dia rela tidak mengamen sebelum aku datang. Sebelumnya aku tidak mempunyai seorang teman yang bisa aku ajak untuk berbagi suka dan dukaku. Seorang Ferdy yang bisa membuat aku untuk bercerita dan berbagi kisahku. Dia juga mengajarkanku dan memberikan suatu hal tentang arti seorang teman. Dia seperti obat bagi kehidupanku, setiap kali aku berada di dekatnya, ada perasaan yang begitu hebat, perasan yang kuat, perasaan yang tidak mampu aku pahami.
Kali ini Ferdy mengajakku untuk mengamen di bus, sudah jenuh mengamen di persimpangan jalan katanya. Awalnya aku menolak karena aku tidak terbiasa mengamen di dalam bus, selain itu aku tidak ingin berbuat ribut dengan pengamen yang lain. Setelah Ferdy memaksa dan memberikan banyak keyakinan kepadaku aku mengiyakan ajakannya. Pertama kali kami mengamen, kami takut dengan pengamen yang biasa mengamen dibus, takutnya kami dituduh macam-macam. Untungnya ada seorang bapak-bapak yang juga seorang pengamen memberikan ijin kami untuk mengamen. Kami mulai mengamen di dalam bus, tidak perduli kemanapun bus berjalan membawa kami. Lagu pertama yang kami bawakan lagu kepunyaan mendiang almarhum Nike Ardilla, Izinkan. Kami berdua menikmati membawakan lagu tersebut, kami sama sekali tidak canggung karena terbiasa ngamen bareng. Satu hal yang membuatku kurang nyaman tidak seperti mengamen di persimpangan jalan adalah pada waktu bus berhenti secara mendadak, membuat aku dan ferdy mesti waspada agar tidak terjatuh. Setelah aku selesai menyanyi, Ferdy menerima uang seikhlasnya dari para penumpang.
Saat kami hendak meninggalkan bus setelah menerima uang dari hasil mengamen, seorang anak kecil, kurus, berpakaian warna merah, tanpa berkata apa-apa memasukkan secarik kertas ke kantong Ferdy sambil nyengir. Kami tidak tahu kertas apa itu, Ferdy tidak berbuat apa-apa pada kertas itu, dia sama sekali tidak memperdulikannya.
Kami menikmati sekali hari ini, karena mendapatkan banyak uang. Sejenak singgah di sebuah warung membeli makanan. Kami berdua tidak tahu berada dimana, tapi kami tidak sangat khawatir dengan hal itu, kami terlalu menikmati apa yang barusan kami lakukan, pengalaman pertamaku yang begitu berkesan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
"Kamu suka?," tanya Ferdy padaku
"Kamu?," aku tanya balik
Dia mengangguk, aku juga mengangguk, kemudian kami ketawa bareng, tidak memperdulikan orang-orang yang memperhatikan kami. Setelah itu kami pergi meninggalkan warung, menyusuri jalanan untuk mencari halte tempat bus berhenti.
Hari sudah mulai sore, kami terdiam di sebuah halte cukup lama, sekitar tiga jam lamanya, namun tidak satupun ada bus yang lewat.
"Gimana ni Fer? Sudah lama kita nunggu, tapi gak satupun bus ada yang lewat," aku rada panik.
"Sabar, kita tunggu saja."
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menunggu. Untuk menghilangkan penat sesekali Ferdy memainkan gitarnya. Dia menyuruhku untuk bernyanyi, tapi aku menolak permintaannya. Hatiku was-was karena takut tidak bisa kembali, selain itu kedua orang tuaku pasti sangat khawatir sekali. Berbeda sekali dengan Ferdy yang sangat santai dan tidak ada rasa khawatirnya sama sekali. Ferdy sangat tahu betul jika aku tidak tenang, dia memandangiku sesekali tapi aku tidak memperdulikannya. Kemudian dia menyuruhku duduk di sampingnya, aku menerimanya. Dia mengatakan hal-hal yang bisa membuatku tenang. Aku tidak tahu kenapa, tiap kali berada di dekatnya, aku merasakan sesuatu yang bisa membuatku tenang. Kami terlibat dalam sebuah percakapan, sambil menunggu sebuah bus lewat mengantarkan kami kembali.
‘Jingga, kalo boleh nanya, cita-cita kamu, apa sih?," Ferdy bertanya kepadaku
"Kalo ga boleh nanya dan aku ga mau jawab, gimana?"
"Iya ga masalah, ga maksa..tapi aku yakin kamu pasti punya keinginan dan impian. Setiap orang kan punya itu, ga percaya kalo setiap orang ga punya keinginan dan impian. Meskipun terkadang keinginan itu tidak pernah tercapai, tapi kalau kita percaya dan berusaha pasti bisa tercapai."
"Cita-citaku selagi aku masih kecil aku ingin sekali menjadi seorang model terkenal. Itu dulu Fer, sekarang sudah tidak lagi."
Aku berfikir Ferdy akan menertawakanku mendengar pengakuan barusan. Melihat fisik dan nasibku yang seperti ini bagaimana bisa aku menjadi seorang super model seperti Gisele Bundchen dengan bayaran yang tinggi, memiliki segalanya, wajah cantik dan postur tubuh ideal cocok jadi model. Cara berjalan dan pose di depan kamera sudah biasa. Sedangkan aku jauh dari seperti itu, berpose di depan kamera saja aku tidak pernah, cara berjalan seperti model tidak sama sekali aku lakukan. Terakhir hanya melihat di televisi tanpa warna dan rada ada semutnya akibat antenanya yang kurang pas, acara pemilihan miss Indonesia cara jalan melanggang di atas stage para kontestannya, itupun aku lihat di tempat aku biasa membeli makan.
"Jadi model? ...., bisa terkenal, setiap berpenampilan dan gaya ditiru oleh banyak orang, dipotret sana-sini."
Ternyata aku salah, Ferdy tidak menertawakanku atau menghina-hina aku, malah sebaliknya dia mendukungku dan memberiku semangat. Meskipun aku rasa mustahil bakal terjadi dan aku membuang impianku itu jauh dan sejauh mungkin, itu hanya sekedar keinginan yang tidak akan pernah aku raih. Bagaimana mungkin bisa aku menjadi seorang model, buat beli makan dan minum saja sulit, pakaian hanya memiliki tiga potong. Selalu berada di jalanan.
Entah apa yang ada di pikiran Ferdy, mengapa dia sangat baik sekali dengan aku, sering memberiku semangat dan perhatian yang terkadang aku merasa sedikit risih.
"Kalo kamu pikir, masih ga, aku bisa menjadi seorang model?,"aku bertanya sekedar basa-basi
"Jingga, kamu cantik dan postur kamu tinggi, kamu bisa menjadi seorang model, bahkan seorang super model. Aku tahu kamu kurang percaya diri dan tidak kamu sadari kalo diri kamu itu cantik."
Aku nyengir, sama sekali tidak mempercayai kalimat yang diucapkan oleh Ferdy barusan, kalimat yang sekedar untuk basa-basi mengisi waktu luang agar suasana tidak garing saja. Tapi benar apa yang dikatakan oleh Ferdy, aku tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena aku sadar dengan posisiku, dan  terlalu berhayal terlalu tinggi yang tidak mungkin terwujud.
Rintik-rintik hujan turun sedikit-demi sedikit membuat dingin keadaan, mulai dari tadi menunggu bus masih belum menampakkan tanda-tanda akan datang, aku tetap semakin asik ngobrol dengan Ferdy. Kami terkadang serius dan sesekali tertawa, aku tahu kedua orang tuaku pasti sudah sangat khawatir sekali, tidak ada yang bisa kami perbuat lagi selain satu-satunya hanya menunggu bus. Naik angkot itupun tidak mungkin, angkot tidak bisa mengantarkan ke tempat tujuan kami.
"Jingga, kamu menggigil?."
"Tidak Fer, hanya....,"belum sempat melanjutkan kalimatku, Ferdy memotong kalimatku.
"Tidak Jingga, kamu menggigil, aku tahu itu."
Ferdy sedikit panik melihat keadaanku.
Ferdy melepas jaket yang dikenakannya, menyuruhku untuk memakainya. Kemudian Ferdy memelukku begitu lembut, tubuhku roboh di tubuh Ferdy, begitu hangat yang aku rasakan, mataku mulai kabur, dan aku dalam kepayahan tak berdaya.
***
Keesokan harinya
Aku terjaga dari tidur, sedikit kaget, karena aku sudah berada di rumah, padahal terakhir aku berada di halte bersama Ferdy.
Tiba-tiba suara ibu mengejutkanku
"Jingga, ayah dan ibu berangkat dulu, kalo kalo kamu makan, itu ibu sudah siapkan di tempat biasa."
"Iya, bu."
Yang membuat aku teheran-heran, mengapa ibu tidak marah-marah padaku, setidaknya ceramah panjang lebar karena aku membuat khawatir mereka.
Sebelum berangkat ibu memberi kecupan dikeningku seperti biasa yang dia lakukan. Belum sempat meminta penjelasan bagaimana aku bisa berada di rumah, kedua orang tuaku sudah pergi untuk memulung. Aku tahu pasti Ferdy yang membawaku, dia kan yang bersamaku kemarin, kalo bukan dia siapa lagi? Tapi yang tidak abis pikir bagaimana dia tahu rumahku, padahal selama ini aku dan dia hanya bertemu di tempat kami mengamen, aku juga tidak pernah mengajaknya bermain ke rumah orang tuaku? Apalagi mereka, tidak mungkin mereka pernah mengajak Ferdy ke rumah sebelumnya, Ferdy ketemu dengan kedua orang tuaku juga di tempat biasa aku mengamen, itupun dua kali mereka bertemu.
"Arrrghh, bodoh...yang jelas aku selamat sampai rumah!!!,"cetusku
Aku bergegas membersihkah tubuh, saat aku hendak melepas pakaianku yang aku kenakan, aku teringat sesuatu, ada yang tidak biasa.
"Ini kan jaket Ferdy"kataku dalam hati
Aku tersenyum sendiri, kemudian mulai membersihkan tubuhku. Setelah semuanya beres, aku pergi mengamen. Sudah bisa aku tebak, Ferdy sudah berada di sana terlebih dulu, aku melihat dia sedang duduk di pot bunga sambil asik bermain-main dengan gitarnya. Belum sempat aku menyapa, dia lebih dulu menyapa aku, wajahnya berseri-seri terlihat jelas.
"Eh..akhirnya kamu muncul juga, lama banget aku nunggu kamu, molor mulu Non," katanya menggodaku.
"Seneng banget kamu........tumben sekali sebegitu cerianya, mau ngajak aku ngamen di bus lagi? Kali ini aku tidak akan mau menuruti kemauanmu lagi, aku sudah kapok...kalo kamu mau ngamen di bus, ngamen saja sendiri."
"Jangan marah dulu.....siapa lagian yang mau ngajak ngamen di bus?"
"Lalu?," aku penasaran
‘Makanya tenang dulu...aku punya kejutan untuk kamu."
"Kejutan? Seumur-umur tidak ada yang mau ngasih aku kejutan."
Ferdy mengangguk, karena rasa penasaran apa yang akan diberikan Ferdy untukku, aku jadi lupa suatu hal yang ingin aku tanyakan tentang kemarin bagaimana aku bisa sampai di rumah.
"Kamu janji ya, mau ngelakuin untukku dan untukmu sendiri."
Aku terdiam sejenak dan berfikir, apa yang bakal diberikan untukku, bikin penasaran sekali.
"Tidak!!!...Kalo kamu macem-macem."
"Tidak kok.........tidak macem-macem, hanya hal kecil.........janji dech."
Aku sangat penasaran dan tertarik untuk menyetujui permintaannya.
"Baiklah......tapi kalo macem-macem aku tidak mau ngelakuin apapun."
"Oke...oke.......deal?"
"Deal," kataku
Kami berdua berjabat tangan sebagai tanda bahwa kami saling sepakat.
Tiba-tiba Ferdy menarikku, bergegas terburu-buru. Tampaknya dia ingin membawaku ke suatu tempat, aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, kami berlari menyeberangi jalanan. Melewati jalanan yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya.
"Jingga, mana gitarmu?," pintanya
"Untuk apa Fer?"
"Udah tenang saja....tidak aku apa-apain ko......aku jamin aman."
Mendengar kalimat barusan aku percaya, memberikan gitarku padanya. Aku mulai sedikit lelah karena berlari. Jika saja aku tidak berjanji, aku tidak akan melakukan hal ini.
Sejenak kami berhenti di depan toko.
"Tunggu di sini ya."
Ferdy menuju ke sebuah rumah yang berada tepat di seberang jalan, tampaknya dia kenal betul siapa pemilik rumah itu, dia titipkan gitarku dan gitarnya pada orang tersebut. Kemudian dia menerima sesuatu dari orang itu. kami berlari lagi tak tahu tujuannya kemana, Ferdy sepertinya sudah merencanakannya sebelumnya.
"Kamu lelah ya, kalo lelah tahan bentar, karena tinggal beberapa belokan lagi kita sampai."
Aku nurut saja apa katanya.
"Nah...... sudah sampai,"
Aku lega akhirnya sampai juga. Aku ngos-ngosan dan ambil nafas panjang, tidak sempat untuk duduk Ferdy menyeretku masuk ke tempat yang tidak pernah aku kunjungi. Dan aku tidak pernah perduli sama sekali dengan tempat itu, suatu tempat yang tidak asing untuk kebanyakan wanita, tempat untuk mempercantik diri, sebuah salon.
"Salon? Untuk apa kamu bawa aku ke tempat ini Fer....?"
"Udah tenang saja...kamu kan sudah janji akan ngelakuin apa yang aku katakan."
"Tapi..."
"Untuk kali ini saja Jingga, please," Ferdy memohon.
Kusetuju, aku duduk di depan cermin berukuran besar yang membuat wajahku dan seluruh badanku terlihat jelas. Aku jadi malu melihat diriku sendiri, dan mulai berfikir, mungkin Ferdy tidak suka melihat wajahku yang lusuh ini atau dia males ngeliat aku yang tidak bisa dandan, jadi dia membawaku ke tempat ini. Aku ambil sisir yang berada tepat di hadapanku, kugunakan untuk menyisir rambutku yang kaku, nyaman sekali rasanya.
"Pasti mahal,"kataku dalam hati.
Sedangkan Ferdy menungguiku di depan sambil membaca majalah yang sudah disediakan oleh pemilik salon. Seorang wanita cantik kira-kira berumuran 28 tahun datang menghampiri Ferdy, percakapan terjalin antara mereka, aku hanya melihat Ferdy mengangguk-angguk sebagai tanda dia setuju. Setelah bercakap-cakap wanita itu menghampiriku.
"Selamat pagi," sapanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Sudah siap di make over?,"katanya
Aku hanya diam, tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya barusan. Aku belum sempat menanyakan dan memberikan jawaban, dia sudah mulai mengambil peralatan dan bahan kecantikan. Dia menyuruhku memejamkan mata dan tidur terlentang di kasur khusus untuk perawatan tubuh, dia mulai memainkan tangannya, melumuri wajahku dengan bermacam-macam cream perawatan kecantikan, rambutku yang panjang dibikin sedikit berombak. Hampir tiga jam aku didandani, seluruh tubuhku menjadi kaku.
"Oke...sudah selesai."
Aku belum lihat bagaimana keadaanku setelah didandani, dia buru-buru membawaku ketempat ruang ganti, dia menyuruhku memakai gaun berwarna putih, indah dan cantik sekali. Aku sempat menolak permintaannya karena aku pikir dia menyuruhku untuk membelinya, terus terang saja aku tidak akan sanggup untuk membayarnya. Kemudian dia menjelaskan semuanya bahwa semua biaya ditanggung oleh Ferdy. Aku terkejut sekali mendengar penjelasannya, bagaimana bisa dan dari mana Ferdy mendapatkan uang.
Aku memakai gaun putih itu, tapi aku tidak tahu hasilnya, wanita itu memberikan reaksi yang salut , lalu mengatakan kalau aku cocok dan cantik sekali menggunakan gaun itu. Tidak sabar ingin melihat diriku di cermin. Aku berdiri di cermin, kupandangi diriku, aku sangat tidak percaya sama sekali dengan diriku sendiri. Hal ini tidak pernah sekalipun aku lakukan.
Jam menunjukkan 9.30, setelah membayar semua perawatanku, Ferdy menghampiriku yang sedang bercermin, dia juga memberikan reaksi yang sama seperti wanita itu.
"Ayo Jingga jangan lama-lama bercermin..kita hampir terlambat." ajaknya.
Aku bingung, ternyata permintaannya belum selesai, aku kira dia hanya minta diriku untuk menggunakan gaun ini.
"Kita mau ke mana lagi Fer..........?," tanyaku
Ferdy tidak memberikan jawaban, malah menggandengku keluar dari salon, kemudian memanggil tukang bemo.
"Bemo....bemo...bemo......"
Bemo berusia tua menghampiri kami, seorang sopir menanyakan pada kami ingin pergi kemana.
"Antarkan kami di mall ujung sana itu pak," kata Ferdy sambil menunjuk mall yang dimaksud
"Ayo jingga, naik"
Sebuah bemo berangkat mengantarkan kami ke sebuah mall terbesar di Jakarta itu. Aku tidak tahu apa yang di rencanakan oleh ferdy, pikiranku menebak-nebak. Mungkinkah Ferdy mengajakku ngedate, oh sweat sekali, jadi malu. Selama perjalanan aku pandangi wajah Ferdy, dia gugup sekali, aku jadi tambah bingung. Aku jadi ingin tahu apa yang akan dilakukannya, aku mulai memberanikan diri untuk meminta penjelasannya.
"Fer, jujur dech ....sebenarnya kamu tuh mau apa sih...jangan-jangan kamu ingin ngejual aku pada om-om ya?"
Ferdy ketawa, mendengar perkataanku barusan, sedangkan pak sopir ngeliat kami yang sedang ribut lewat kaca bemonya.
"Ha..ha ha...tidak sejahat itu aku, Jingga, tidak mungkin aku ngejual kamu yang sangat cantik gini, kecuali kalo kamu galak-galak aku tega ngejual kamu."
Ferdy dan pak sopir sama-sama ketawa, aku malu dibuatnya.
"Bapak perhatikan dari tadi , ko romatis sekali kencannya," kata pak sopir dengan nada bercanda.
Kami tiba di sebuah mall, Ferdy buru-buru membawaku kelantai tiga menggunakan tangga escalator. Suasana disana ramai sekali oleh pengunjung dan remaja, terlihat juga orang tua yang menggandeng anaknya. Suara musik menanbah maraknya suasana. Seperti ada acara atau festival semacamnya.
"Kamu mau nyanyi di sini, Fer?," tanyaku.
"Tidak Jingga."
Ferdy terdiam sejenak kemudian menjelaskan semuanya tentang kejutan yang akan diberikannya.
"Apakah kamu masih ingat dengan kertas yang diselipkan di kantongku oleh seorang anak kecil...waktu kita mengamen dibus?"
Aku mengangguk
"Kertas itu adalah sebuah undangan untuk acara mengikuti kontes pemilihan model.... Aku jadi berpikir daripada membuangnya. alangkah bagusnya jika kamu mengikuti ajang pemilihan model itu. Ini adalah kado spesial yang ingin aku berikan di hari ulang tahu kamu."
"Hari ulang tahunku?" aku terkejut
"Iya jingga, masa kamu ga ingat...sekarang adalah hari ulang tahun kamu," Ferdy meyakinkanku
Jujur saja aku tidak pernah merayakan hari jadiku. Tidak ada orang yang mengingatkanku dan tidak pernah ada orang memberikanku sebuah kado di hari ulang tahunku, baru Ferdy seorang yang pertama kali ingat dan memberikan aku sebuah kado.
"Bagaimana kamu tahu kalau sekarang aku berulang tahun?"
"Saat kamu tertidur di halte, tidak lama kemudian sebuah bus datang. Sebenarnya aku ingin membangunkan kamu, aku pikir tidak perlu, kamu terlalu pulas....jadi aku membopong kamu naik kedalam bus. Saat kita sampai, aku melihat kedua orang tuamu di tempat kita mengamen, aku memanggilnya dan menjelaskan semuanya jika kamu berada bersamaku ngamen di bus. Aku kasihan melihat kedua orang tuamu sepertinya sangat capek, jadi aku yang menggendongmu sampai rumah. Saat berada di rumahmu aku tidak sengaja melihat foto kamu yang bertuliskan tanggal lahir kamu."
Karena penjelasannya, aku tahu bagaimana Ferdy tahu rumahku.
"Jingga, kamu bercita-cita ingin menjadi model.....inilah kesempatan kamu menunjukkan kalau kamu bisa menjadi seorang model."
"Tapi, Fer...aku..."
Ferdy memotong
"Sttststs.........aku tidak menginginkan kamu harus menang, kamu ikut saja aku sudah sangat senang, please jangan kamu tolak permintaanku"
Aku pasrah, mengikuti dengan apa kemauan Ferdy.
Ferdy menemui panitia acara, mendaftarkan aku sebagai salah satu peserta dan memberikan kertas undangan itu.
Tidak lama kemudian acara dimulai seorang MC naik keatas panggung menyapa kontestan dan pengunjung mall, memanggil nama-nama kontestan. Aku gugup sekali, tidak tahu apa yang harus aku lakukan sama sekali tidak ada persiapan.
"Acara sudah mulai, kamu pergi gabung sama kontestan yang lain," kata Ferdy
"Kamu?"
"Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kamu...aku tunggu di meja sana."
Aku bergabung dengan kontestan yang lain. Aku tahu mereka semua berbeda dengan aku, semuanya anggun dan cantik-cantik, aku minder dan tidak percaya diri. Satu persatu kontestan menunjukkan kelihaiannya berjalan di panggung layaknya seorang model terkenal. Aku mengumpulkan keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Aku mesti bisa dan aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri, serta tidak ingin membuat Ferdy kecewa. Ferdy senyam-senyum memeperhatikanku disana. Aku tidak sabar segera naik keatas panggung, ingin semuanya segera selesai dan berakhir, tidak tahan dengan semuanya yang aku alami gara-gara permintaan bodoh Ferdy.
Tibalah giliranku naik keatas panggung dan berjalan seperti model. Kulihat pandangan para juri yang kurang begitu suka melihatku, mungkin aku terlihat anak yang norak dan tidak memiliki suatu kemampuan untuk menjadi seorang model. Tapi aku harus melakukan, karena terlanjur berjanji sama Ferdy, setidaknya aku suka dia tersenyum. Kubuang rasa takutku, tidak tahu darimana asalnya, aku begitu percaya diri berjalan, seperti ada yang menuntunku untuk bergaya di depan sorotan kamera. Melenggang mempertunjukkan body language-ku, yang aku pikir sangat kampungan. Aku tak perduli juri mau memberi nilai aku apa, yang jelas aku sudah menepati janjiku, dan menerima kado Ferdy, meski dengan berkorban. Ku menghargai sifat baik Ferdy.
Rasa senang sekali ketika aku menuruni panggung setelah bergaya diatas panggung, lega rasanya setelah melakukannya. Aku menghampiri Ferdy dan memukulnya karena merasa gregetan padanya.
Para juri sibuk menilai-nilai untuk menentukan juaranya. Sambil menunggu hasilnya, aku dan Ferdy makan disebuah cafe sederhana yang terletak tidak jauh dari sana. Aku ceritakan perasaanku mengenai apa yang barusan aku lakukan. Ferdy hanya bisanya ketawa mendengarkan celotehanku....cekakacekikikan...aku jadi geli melihatnya.
Setelah lama menunggu, tibalah saatnya pengumuman siapa saja pemenangnya, semua kontestan disuruh naik keatas panggung. Juri mulai membacakan para pemenang dimulai dari kategori terkecil, hingga pada ketiga besar. Alangkah kagetnya ketika juri menyebut namaku sebagai juara utama. Aku tidak bisa bergerak dan berkata-kata, aku tidak percaya sama sekali. Apalagi dengan Ferdy, dia sangat bergembira sekali, dia merasa usahanya berhasil.
Aku menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku, mereka senang sekali dan berterima kasih sekali kepada Ferdy.
Semenjak aku terpilih sebagai juara utama pemilihan model, beberapa bulan kemudian aku jadi sibuk, banyak kontrak kerja yang mesti aku lakukan. Pemotretan sana sini, jadi bintang iklan dan jadi bintang tamu disebuah acara talk show semuanya mengikat, merupakan suatu keharusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Perubahan-perubahan dalam hidupku bermunculan, aku sudah tidak mengamen lagi, gitarku masih tetap berada diorang yang dikenal Ferdy. Orang tuaku juga berhenti memulung, aku bisa membeli rumah, membawa kedua orang tuaku kepada kehidupan yang serba tidak kekurangan, hidupku membaik tidak susah lagi. Bagaimana dengan Ferdy? Aku tidak lupa dengan pengorbanan dia. Berkat dia aku bisa hidup seperti ini, aku sekarang berada diatas, ini bukan mimpi, nyata dan benar. Beberapa kali aku tawarkan dia minta apa saja, tapi dia tidak mau. Aku tidak akan melupakan dia dan pengorbanan dia, aku berusaha tidak berubah di mata dia, tetap seorang Jingga yang dia kenal.
Ferdy mendukung semua dengan apa yang aku lakukan, dia senang sekali tiap kali aku mau melakukan sesi pemotretan atau menjadi salah satu bintang tamu di sebuah acara talk show. Hingga beberapa hari kemudian aku bercerita kepadanya, jika aku mendapat tawaran untuk sebuah produk yang mesti melakukan pemotretan di Paris. Ferdy mengiyakan aku untuk ikut, dia antusias sekali, dan menyuruhku untuk tidak menolak tawaran itu. Jika aku menolaknya, dia mengancam tidak mau berteman dengan aku lagi. Tentu saja aku tidak menolak tawaran itu, takut Ferdy meninggalkanku. Meski berat rasanya meninggalkannya dan meninggalkan kedua orang tuaku, bermacam-macam alasan aku lontarkan, agar aku bisa menolak tawaran, tapi Ferdy terus memaksa, membuat aku mengiyakan.
Sehari sebelum berangkat ke Paris untuk melakukan pemotretan aku menemui Ferdy ditempat biasa kami mengamen untuk berpamitan kepada Ferdy. Aku juga titip kedua orang tuaku ke Ferdy. Ada perasaan yang mengganjal melarangku untuk pergi, ada hal yang membuatku berat meninggalkan dia. Tapi aku tidak bisa, aku mesti harus pergi, jika tidak ferdy akan meninggalkanku. Aku mulai menyukai Ferdy, merasakan benar-benar tidak sanggup untuk berpisah dengannya, dia sangat berarti untukku selain kedua orang tuaku.
"Fer, besok aku berangkat ke Paris untuk beberapa minggu," kataku dengan suara pelan.
Dia mengangguk, dan tahu betul dengan keadaanku yang tidak ingin pergi.
"Jingga, pergilah....ini adalah kesempatan kamu, saatnya kamu jadikan impianmu jadi kenyataan....impian yang kamu impikan semenjak kamu kecil, buktikan kalo kamu bisa."
Ferdy tersenyum, memberikan semangat-semangat yang melegakanku untuk meninggalkannya. Aku senang melihatnya, itulah seorang Ferdy, selalu ceria.
Aku dan rombongan pihak agency model berang kat ke Paris, Ferdy dan kedua orang tuaku mengantarkanku kebandara. Kami mengucapkan kalimat perpisahan, Ferdy tetap saja memberikan semangat padahal perasaanku sangat gundah.
Perjalanan lama mengantarkanku ke Paris, dan sekarang aku berada di Paris.
Paris benar kota yang sangat cantik, tidak salah jika banyak orang bilang paris adalah kota mode dan romantis. Tidak ada waktu untuk beristirahat, setelah sampai di paris, aku langsung melakukan pemotretan sana-sini, sangat melelahkan.Managerku mengenalkanku dengan seorang model yang juga asli indonesia namun lama hidup di paris, dia mengatakakn jika kami bekerja sama dalam suatu product dengannya, komunikasi kami lancar karena kami sama-sama berasal dari indonesia. Namanya Rania, usianya kira-kira 28 tahun lebih tua empat tahun dariku, oarangnya menyenangkan dan supel sekali, dia banyak cerita tentang dirinya, yang membuat aku terharu ketika dia bercerita, adik laki-lakinya pergi meninggalkan rumah karena alasan tidak mau pindah ke paris, sampai sekarang dia tidak bertemu dengan adiknya.Seringnya kami bertemu dalam bekerja sama, kami jadi akrab tidak ada suatu kecanggungan bagi kami berdua, kami saling berbagi.
Sudah lima hari kami melakukan pemotretan, aku jadi sedikit melupakan ferdy dan kedua orang tuaku, bodohnya aku, meskipun aku sudah cukup mapan, aku tidak memiliki sebuah handphone, jadi tidak bisa menghubungi mereka, hanya doa dan rasa rindu yang aku utarakan melalui udara dingin paris, semoga mereka juga merindukan aku.
habis melakukan pemotretan aku punya waktu beberapa jam untuk istirahat, aku ajak rania untuk membeli sebuah handphone, dia pasti sangat tahu betul dimana aku harus membeli karena dia lama dan tahu betul dengan kota paris. Akmi mengunjungi pusat perbelanjaan, dan membeli handphone, juga tidak lupa aku juga membelikan satu untuk ferdy.
"Banyak sekali kamu beli handphone"Kata rania
"tidak untukku semua"
"buat orang spesial ya?, pasti pacar"dengan nada menggoda
"tidak....hanya untuk seorang yang sangat berjasa dalam hidupku"
setelah kami mendapatkan beberapa handphone kami balik ke tempat pemotretan.Selang beberapa menit kemudian,handphone rania berbunyi, setelah berbicara beberapa kata wajah rania berubah, yang sebelumnya sangat senang sekali berubah sedih. dia memutuskan harus pergi segera, tidak bisa melanjutkan pemotretan, segera balik ke indonesia karena adiknya telah ditemukan dalam kondisi yang kritis karena mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di unit gawat darurat. apa boleh buat aku harus jadi model suatu product sendirian, aku dan kru yang lain maklum dengan keadaan rania, jika aku jadi dia, aku juga melakukan hal yang sama seperti apa yang dia lakukan.Sebelum pergi rania memberikan nomor handphonenya, aku segera mencatatnya.
setelah beberapa hari rania balik ke indonesia, aku juga balik ke indonesia, itu artinya aku telah menyelesaikan semua tugasku sebagai seorang model, aku sudah tidak sabar sekali ingin segera bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga ferdy, kangen dengan masakan buatan ibu, kangen dengan candaan ferdy, dan kangen dengan tanah kelahiranku.Perasaanku berbunga-bunga senangnya tak kepalang, banyak cerita yang mesti mereka dengar dariku.
Sore hari aku tiba di bandara, di temani dengan hujan rintik-rintik, rupanya kedua orang tuaku sudah menunggu ditempat penjemputan, langsung kupelum mereka.Mereka ingat betul kapan aku memberitahukan kalo aku balik ke indonesia, mereka menunggu sekitar empat jam dibandara katanya, aku yakin mereka bosan sekali menungguku. Terasa ada yang tertinggal, ferdy.. ya dia, kemana dia?.
"mana ferdy?"tanyaku
"Sudah empat hari ini kami tidak melihatnya......dia juga tidak kerumah"jelas ayahku
aku merasa khawatir sekali, apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia pergi meninggalkan aku?, aku tidak mau berlama-lama berada di bandara, bergegas pulang kerumah, dan segera menumui ferdy, pasti dia sedang asik mengamen hingga lupa untuk menjemputku.Aku jadi ingin marah sekali padanya.Setibanya di rumah, sudah tersedia banyak makanan yang dimasak oleh ibu.
"wow banyak sekali...di paris tidak ada makanan kayak gini, disana kebanyakan roti"kataku
"adu..aduh anak ibu......jadi kurus begini masalahnya karena kebanyakan roti ya....?"canda ibu"
"ibu...boleh ga aku mengundang ferdy untuk makan bareng?"pintaku
"tentu saja boleh...ibu sangat senang jika dia ada disini, ibu menganggap dia seperti anak ibu, iya kan pak?"
ayahku mengangguk
aku berlari menuju ke bawah jembatan layang untuk menemui ferdy, aku yakin sekali dia berada disana.Setibanya disana aku tidak menemui dia, aku tanyakan kepada setiap anak jalanan yang berada disana, orang warung langgananku,dan pedagang-pedagang asongan, tapi yang aku dapatkan hanyalah reaksi gelengan kepala sebagai tanda mereka tak tahu. Badanku sangat capek sekali, sejak balik dari paris, aku tidak lanjut untuk mencari ferdy, memutuskan balik kerumah.
Beberapa hari ini aku tidak menemukan ferdy, entah dimana dia berada, dan sedang apa yang dia lakukan, aku hanya terdiam dirumah, berbaring ditempat tidur sambil berfikir berharap ferdy segera kembali, aku merasakan suatu kehilangan yang sangat besar dan berartinya dia bagiku. ku ambil handphone yang ingin aku berikan kepada nya, aku mengotak-atiknya, memencet-mencet setiap menu yang ada, berharap sekali handphone ini dibawah oleh ferdy, sehingga aku bisa menanyakan banyak hal dan bercerita padanya. kutulis no handphoneku didirectori handphone itu. kemudian ku matikan.
aku selalu membawa handphone itu tiap kali aku keluar rumah
Saat aku ingin memejamkan mata, dering handphoneku berbunyi, terlihat nama rania. Dia memeinta maaf kepadaku karena tidak bisa melanjutkan pemotretan, serta menanyakan keberadaanku. Aku juga menanyakan padanya mengenai keadaan adiknya, dia terdiam kemudian menangis sesenggukan, aku tidak tega mendengarkan.
"besok udah bisa di bawa pulang kerumah, kata dokter"kata rania dengan terbata-bata
Dari suaranya aku sangat yakin, keadaan adiknya tidak begitu baik
"Aku senang, adikmu sudah baikan, boleh ga aku besok menjenguk adikmu?"
"iya, boleh..."
aku tanyakan alamat rumahnya, setelah memeberikan alamat rumahnya padaku, percakapan kami berakhir.
besoknya
Aku cari-cari mengelilingi tiap komplek yang sesuai dengan alamat rumah rania yang dia berikan padaku, muter-muter kutanyakan pada tiap orang yang aku temui.
"tahu alamat ini pak?"tanyaku
"o....,neng jalan lurus kemudian belok ke kanan, tiga baris dari depan, itu rumahnya'kata seorang laki-laki tua
"terima kasih pak"
aku melanjutkan perjalanan
sebuah rumah megah berpilar tinggi, sangat mewah seperti istana, disitu alamatnya.kemudian ku pencet bel yang menempel di dinding. seorang pelayan keluar membukakan pintu dan menyakan siapa dan keperluanku, setelah ku jelaskan aku dipersilahkan masuk dan duduk menunggu rania di ruang tamu.
tidak lama kemudian dia datang
"Hai ..jingga"dia menyapa sambil memelukku
aku senang sekali dapat bertemu dengannya
"sendirian?"
aku mengangguk, kami sedikit mengobrol dengannya sebelum aku bertemu dengan adiknya. selang beberapa menit Kemudian dia membawaku untuk menemui adiknya.
adiknya sedang duduk di kursi roda dekat kolam renang, terdiam termenung sendirian, aku mendekati dirinya, sepertinya aku kenal sekali dengan sosok itu, tidak asing bagiku. ferdy.... mungkinkah dia?. hatiku kuat mengatakan kalau itu ferdy, setelah dia menoleh kearahku, ternyata aku salah, dia bukan seorang yang aku kenal. dia hanya diam, tak berkata apa-apa, aku mengerti dengan keadaannya. Sangat tragis keadaannya, gara-gara kakinya di amputasi, dia mesti berjalan memakai kursi roda. Sangat sulit baginya melihat kondisinya yang begitu.
aku tersenyum padanya, namun dia tidak membalas senyumanku sama sekali, rania memandangiku seakan-akan berbicara kalau adiknya sedang putus asa tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
setelah menjenguk adiknya, aku tidak berlama-lama berada di rumah rania. Aku mesti pulang kerumah. semenjak aku aku kehilangan ferdy, aku males jalan-jalan sendirian atau bersama yang lainnya, aku kangen sekali dengan ferdy.
***
setibantya dirumah, aku langsung masuk ke dalam kamar
Didalam kamar aku membayangkan segala hal mengenai awal pertemuanku dengan ferdy, ketika ngamen, makan, bergurau, dan jalan bareng. Kenangan lama itu melekat jelas teringat dipikiranku, aku ingin dan rindu sekali seperti dulu lagi, saat aku bersama dirinya, rasa rindu ini bikin sesak dadaku. dia yang menghiasi hidupku dengan berbagai warna dan rasa, hidupku begitu indah, bahagia berada didekatnya. aku tidak tahu mengapa dia pergi begitu saja tanpa memberikan alasan yang jelas. aku bertanya-tanya apakah diriku telah berbuat salah padanya, aku merasa diriku bersalah padanya.
"tok.tok.tok ....jingga...jinga apakah kamu ada didalam?"
suara ibu mengetok-ngetok pintu kamarku sedikit mengejutkanku dan membuyarkan bayangan tentang ferdy
aku keluar dari kamar menemui ibu
"ada apa bu?"
"ini, tadi ada seorang perempuan menitipkan sebuah undangan untuk kamu"
aku terima undangan itu, kemudian masuk kembali kedalam kamar, Aku membacanya sekilas tidak terlalu perduli.Tiap minggu aku banyak sekali menerima macam-macam undangan, semua undangan yang datang kubaca acara, tempat dan waktunya saja. tak perduli itu undangan dari siapa dan untuk acara apa, terkadang aku salah costum karena tidak membaca lebih jelas tentang undangan yang datang, tapi aku tidak perdli. undangan barusan menyebutkan acaranya dilangsungkan dua hari kedepan pukul 10.00 pagi. setelah membacanya kuletakkan di atas meja riasku.
seharian penuh aku habiskan hari-hariku didalam kamar, tiap kali handphoneku berbunyi aku tidak mengangkatnya, ibu khawatir sekali melihat keadaanku yang sedikit berantakan, dia tahu betul mengapa aku begitu, sesekali dia marah kepadaku semata-mata agar aku bisa beraktifitas, tidak berdiam diri seperti orang yang tidak sehat, tapi benar, sekarang ini aku lagi tidak sehat penyebabnya karena ferdy, dialah obat dari rasa sakitku.
2 hari kemudian
Karena ibu terus memarahin aku yang terus bermales malesan didalam kamar, lama-lama telingaku panas juga. Akhirnya aku ambil undangan yang kuletakkan dimeja rias, kubaca sekali lagi tempat dimana acara itu akan dilangsungkan, kemudian aku berdandan rapi, memakai gaun putih, aku jadi teringat ketika ferdy menyuruhku untuk memakai gaun putih untuk mengikuti pemilihan model, indah sekali rasanya hari itu. Aku bergegas berangkat berpamitan ke ibu untuk menghadiri undangan itu.
Aku tahu, pemilik acara adalah orang kaya, terlihat dari bentuk dan design undangan yang mewah, pasti banyak orang yang ga jelas menghadiri acara itu. setibanya disana, sesuai dengan dugaanku, banyak orang yang ga aku kenal, aku canggu sekali memasuki ruangan yang sudah penuh oleh para undangan, tidak hanya itu aku semakin canggung karena datang sendiri, untungnya ada rania, aku sedikit kaget ketika dia menyapaku, ternyata dia juga diundang. Dia datang bersama seorang cowok, aku berpikir kalau cowok yang sedang bersamanya adalah pacarnya, ternyata tidak, cowok itu adalah adik keduanya, sedang yang mengalami kecelakaan adik ketiganya.
"ko...datang sendirian?'tanya rania
aku bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan rania itu, belum aku memberikan jawaban dia mengenalkanku pada adiknya
"oh iya, jingga, kenalkan, ini adikku namanya marco......dia baru saja datang dari london, dan juga baru namatin kuliahnya di jurusan bisnis, sekarang dia kerja diindonesia"
cowok itu tersenyum ramah kemudian menjabat tanganku.
tidak tahu mengapa aku dan marco cepat begitu akrab,selama acara belum dimulai aku terus bersama rania dan marco, kami saling bercerita dari hal yang ga penting sampai hal asmara kita masing-masing. marco baru saja putus dengan pacarnya, alasannya pacarnya tidak mau jika marco bekerja dan tinggal di indonesia. marco juga menjelaskan bagimana dia bisa sampai hadir di acara itu, acara itu adalah acara pernikahan teman bermainnya sewaktu masih kecil, marco dan dia akrab sekali, mangkanya dia menghadiri undangan itu. aku jadi penasaran siapakah temannya itu, aku jujur tidak tahu siapa pemilik acara dan yang mengundangku untuk menghadiri acara pernikahan itu.
marco bercerita kalau temannya yang mau menikah itu minggat dari rumahnya, tidak mau dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak orang kaya dari denmark, padahal orang tua temannya sudah menjodohkannya sewaktu temannya itu masih balita. aku sedikit perihatin dan dan sedikit geli mendengarkan cerita marco barusan.
"lalu sekarang temanmu?'tanyaku
"dia setuju dengan perjodohan itu...mangkanya sekarang dia menikah, alasannya dia menerima perjodohan itu karena ibunya sakit keras...dia tidak tega melihat ibunya yang sakit dan menderita, ibunya terus meminta dia untuk setuju dengan perjodohan itu......ya, akhirnya dia setuju"
tidak lama kemudian acara dimulai, marco tersenyum lebar karena bakal melihat temannya menikah, aku terus memandang kedepan, semua undangan yang lain juga memandang kedepan tidak sabar untuk melihat kedua mempelai.
keluarlah kedua mempelai
betapa terkejutnya aku
"Assssstaga......!!!!!!!!!!!!!!!"
Ternyata itu ferdy, pria yang bersanding dengan mempelai wanita itu benar-benar ferdy, aku tak bisa mempercayai semuanya, badanku seketika mengaku, bibirku tidak bisa berucap, tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan, mataku sediki demi sedikit mengabur,aku mulai mati rasa namun aku berusaha untuk kuat.meskipun hatiku hancur, sangat dan benar-benar hancur.
Air mataku jatuh tak tertahankan, terlihat disana ferdy terus memandangiku yang tak bisa bergerak, mungkin dia tahu jika aku sangat terpukul sekali dengan kejadian ini. Tuhan mengapakau hadirkan dia untukku jika pada akhirnya hanya untuk membuatku menderita.
***
Sejak ferdy hidup bersama istrinya. Hari-hariku ku habiskan bersama marco, dia yang terus membantuku untuk bisa melupakan ferdy dan tidak membencinya, meskipun tak seperti ferdy, namun marco setia dan terus memberikan perhatian padaku menemaniku,selaluada setiap aku butuhkan.
dua tahun sesudah pernikahan ferdy, aku melangsungkan pernikahanku dengan marco, aku tidak lupa untuk mengundang ferdy, dia datang bersama istrinya, meskipun kami sudah menikah kami masih bersahabat, terkadang ferdy dan istrinya datang kerumah untuk ngumpul bareng, dan terkadang aku dan marco yang datang kerumah ferdy.
"Hal termanis yang pernah aku punya, ketika aku mengenalmu." "Kau datang membawa segudang kebahagiaan dan tawa." "Kau pergi memberiku kesedihan dan kehancuran."
Antara Cinta Dan Persahabatan
Aku tidak pernah berpikir jika hidupku bisa beranjak naik tingkatan setelah bertahun-tahun aku dan kedua orang tuaku hidup dalam kemiskinan dan menderita, selalu menerima ejekan orang-orang, dipandang sebelah mata, menyambung hidup dengan bermodalkan gitar kecil dan suara yang tidak begitu enak untuk didengar. Aku merasa bahwa hidupku digariskan Tuhan sebagai orang miskin seterusnya yang hidup mengamen di persimpangan jalan. Tapi, setelah aku mengenal Ferdy, hidupku jadi berubah total, bahkan aku tidak bisa mempercayainya dengan apa yang aku alami sekarang ini. Aku memiliki sebuah rumah yang besar, mobil mewah dan barang-barang berharga lainnya. Tiap kali mau pergi kesuatu tempat ada sopir pribadi yang siap untuk mengantar kemanapun aku mau pergi.  Lain sekali ketika aku masih miskin, tinggal disebuah rumah kardus dibawah jembatan layang, tiap mau pergi kesuatu tempat mesti jalan kaki untuk menempuhnya. Hidupku penuh kemudahan semenjak perubahan hidup yang aku alami. Aku bersyukur sekali, karena Tuhan masih sayang dan merubah hidupku melalui seorang Ferdy, seorang yang tidak pernah aku ketahui secara lengkap darimana dia berasal. Cowok berusia 24 tahun, wajahnya tidak begitu ganteng, nggak begitu suka dandan, namun ada satu hal yang aku kagumi dari dirinya, yaitu ketekunan dan kepinteran yang dia miliki.
Pagi itu, hari sangat cerah sekali. Aku terjaga dari tidur, kemudian bergegas membersihkan badanku dengan beberapa bilasan air, kemudian pergi ke tempat biasa, tidak lupa sebelumnya berpamitan kepada kedua orang tuaku. Di persimpangan jalan, tidak jauh, sekitar lima ratus meter dari tempat aku tinggal, aku bekerja untuk menyambung hidup dengan mengamen. Mulai sejak tamat sekolah dasar, aku selalu melakukan pekerjaan ini, jika tidak begini aku tidak bisa hidup. Darimana lagi aku bisa makan jika tidak mengamen, ini merupakan keahlian seni musik satu-satunya yang aku dapat di sekolah dasar dulu. Lumayan buat cari uang, daripada aku minta belas kasihan orang tanpa bekerja. Kedua orang tuaku tidak tiap hari mendapatkan uang, mereka hanya bekerja sebagai pemulung barang sisa minuman dan kardus. Karena itu aku tidak lanjut sekolah kelebih tinggi lagi, namun aku masih bisa membaca dan berhitung, terkadang orang tuaku mengajariku meski tidak sehebat seorang guru kebanyakan. Aku tidak pernah menyesali dengan hidup miskin dan memiliki kedua orang tua seperti mereka. Orang tuaku mengajariku untuk selalu berusaha dan pantang menyerah menjalani hidup ini, mereka selalu mengajariku untuk selalu ingat kepada Tuhan.
Saat aku sampai dan akan memainkan gitar, alangkah terkejutnya aku, seorang cowok seumuranku dengan seenaknya bernyanyi dan menerima uang pemberian orang-orang di tempat biasa aku mengamen. Aku mengenal betul, siapa saja yang mengamen di sekitar tempat itu, namun kali ini aku tidak tahu siapa cowok itu. Padahal sudah ada aturan tidak boleh menempati daerah orang lain bekerja, setiap daerah sudah ada yang menempati, sudah dibagi-bagi sejak dulu. Kalaupun ada pendatang baru harus melapor terlebih dahulu. Dia memainkan gitarnya dengan lihai.
Aku mendekati dirinya yang sedang bersandar di pilar jembatan layang dengan asyik menghitung uang koin yang didapatnya dari hasil menyanyinya. Dari raut mukanya terlihat sekali kalau dia senang sekali, dan tidak merasa berbuat suatu kesalahan apapun.
"Anak baru ya?," tanyaku
Dia mengangguk tanpa berkata apapun, aku sedikit kesal padanya karena tidak memberikan jawaban
"Darimana?"
Dia hanya diam dan sekali lagi tidak memberikan jawaban
"Kamu datang dari mana?," tanyaku sekali lagi, agak membesarkan volume suaraku
"Apa urusannya denganmu?," jawabnya rada sewot
Aku tidak sabar ingin menghajarnya, namun hati kecilku mengatakan untuk tidak melakukannya, aku berusaha menenangkan diriku menahan sabar. Awalnya aku ingin tidak memperdulikan dia, namun mau gimana lagi ladangku dipakai oleh seorang yang dengan seenaknya sendiri menempati tempatku tanpa minta izin terlebih dahulu.
"Kalo kamu mau dapat uang, mari kita bernyanyi bersama," katanya
"Apa???? Maksudmu ngamen bareng?"
"Iya, kita ngamen bareng"
"Kamu tahu..., kamu telah berbuat kesalahan kepadaku."
"Kesalahan apa? Aku tidak pernah mengenalmu dan aku juga tidak pernah bertemu dengan kamu, terus aku berbuat salah apa terhadap kamu?"
Aku makin tidak sabar untuk menghajarnya sampai babak belur, biar kakinya tidak mampu berdiri dan mukanya memar-memar. Tanganku mulai gatal, begitu juga kakiku mulai kesemutan ingin menendangnya, namun aku tak kuasa untuk melakukannya. Ada suatu perasaan yang menghalangiku untuk tidak melakukannya.
Aku terdiam sejenak, setelah mendengar perkataannya barusan.
"Ayo.....!! Mau ga?,"ajaknya
"Ga......!! Ini tempatku dan aku yang pertama dan sudah lama aku mengamen di sini. Sedangkan kamu baru pertama kali di sini, aku rasa kamu mesti pergi dari sini, kamu itu mengganggu"
Tanpa berkata-kata lagi dia pergi menjauh meninggalkan aku, lalu duduk bersandar di pot bunga yang berada di bawah tepat fly over. Mungkin aku terlalu berbuat kasar pada dirinya, aku juga tidak mau ini terjadi. Aku membiarkan dirinya berada di sana, aku mulai memainkan gitarku dan bernyanyi. Sesekali aku pandangi dirinya, masih tetap saja terdiam di sana tidak beranjak kemana-mana. Aku lega dia tidak berbuat onar, tidak seperti pengamen yang lain jika diusir meninggalkan sisa perbuatan yang tidak menyenangkan. Tapi dia sangat berbeda sekali dengan pengamen yang selama ini aku temui atau aku kenal, dia tidak ada tampang sama sekali sebagai seorang pengamen.
Setelah aku mendapatkan cukup uang, aku membeli nasi bungkus dan sebotol minuman mineral di warung langgananku. Aku masih memerhatikan dia yang masih duduk di pot bunga, aku jadi tidak tega melihatnya, kemudian kuputuskan untuk membeli makanan dan minuman untuk dirinya.
"Ni....," aku menyodorkan makanan dan minuman
"Untukku?"
Aku mengangguk, dia membalas dengan tersenyum, kemudian kami makan bareng. Kami berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun selama makan.
"Terima kasih ya," katanya
"Terima kasih untuk apa?"
"Untuk makanan dan minuman yang kamu berikan."
"Itu tidak gratis ya."
"O...kalo gitu aku mesti bayar berapa?"
Aku tersenyum....... "Tidak, kamu tidak usah bayar, aku bercanda ko. Aku minta maaf ya, atas perbuatanku yang kasar mengusirmu."
"Tidak, seharusnya aku yang minta maaf, tidak seharusnya aku menempati tempat kamu bekerja. O iya, kenalkan namaku Ferdy"
"Jingga"
"Nama yang sangat cantik, seperti orangnya," katanya
"Gombal"
Aku tersipu malu mendengar perkataannya barusan. Saat itu aku tahu namanya, mulai sejak itu juga kami ngamen bareng.
***
Sudah enam bulan berlalu, aku mengenal Ferdy, aku pikir dia anak yang sama dengan anak yang selama ini aku ketahui, anak jalanan yang banyak tingkah, awut-awutan, hidupnya berantakan, bikin onar sana sini. Tapi tidak, dia seorang yang baik dan menyenangkan, memiliki selera humor, tidak terlalu banyak tingkah, juga tidak mudah marah mendengar perkataanku yang terkadang menyakiti dirinya. Dia rela tidak mengamen sebelum aku datang. Sebelumnya aku tidak mempunyai seorang teman yang bisa aku ajak untuk berbagi suka dan dukaku. Seorang Ferdy yang bisa membuat aku untuk bercerita dan berbagi kisahku. Dia juga mengajarkanku dan memberikan suatu hal tentang arti seorang teman. Dia seperti obat bagi kehidupanku, setiap kali aku berada di dekatnya, ada perasaan yang begitu hebat, perasan yang kuat, perasaan yang tidak mampu aku pahami.
Kali ini Ferdy mengajakku untuk mengamen di bus, sudah jenuh mengamen di persimpangan jalan katanya. Awalnya aku menolak karena aku tidak terbiasa mengamen di dalam bus, selain itu aku tidak ingin berbuat ribut dengan pengamen yang lain. Setelah Ferdy memaksa dan memberikan banyak keyakinan kepadaku aku mengiyakan ajakannya. Pertama kali kami mengamen, kami takut dengan pengamen yang biasa mengamen dibus, takutnya kami dituduh macam-macam. Untungnya ada seorang bapak-bapak yang juga seorang pengamen memberikan ijin kami untuk mengamen. Kami mulai mengamen di dalam bus, tidak perduli kemanapun bus berjalan membawa kami. Lagu pertama yang kami bawakan lagu kepunyaan mendiang almarhum Nike Ardilla, Izinkan. Kami berdua menikmati membawakan lagu tersebut, kami sama sekali tidak canggung karena terbiasa ngamen bareng. Satu hal yang membuatku kurang nyaman tidak seperti mengamen di persimpangan jalan adalah pada waktu bus berhenti secara mendadak, membuat aku dan ferdy mesti waspada agar tidak terjatuh. Setelah aku selesai menyanyi, Ferdy menerima uang seikhlasnya dari para penumpang.
Saat kami hendak meninggalkan bus setelah menerima uang dari hasil mengamen, seorang anak kecil, kurus, berpakaian warna merah, tanpa berkata apa-apa memasukkan secarik kertas ke kantong Ferdy sambil nyengir. Kami tidak tahu kertas apa itu, Ferdy tidak berbuat apa-apa pada kertas itu, dia sama sekali tidak memperdulikannya.
Kami menikmati sekali hari ini, karena mendapatkan banyak uang. Sejenak singgah di sebuah warung membeli makanan. Kami berdua tidak tahu berada dimana, tapi kami tidak sangat khawatir dengan hal itu, kami terlalu menikmati apa yang barusan kami lakukan, pengalaman pertamaku yang begitu berkesan yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
"Kamu suka?," tanya Ferdy padaku
"Kamu?," aku tanya balik
Dia mengangguk, aku juga mengangguk, kemudian kami ketawa bareng, tidak memperdulikan orang-orang yang memperhatikan kami. Setelah itu kami pergi meninggalkan warung, menyusuri jalanan untuk mencari halte tempat bus berhenti.
Hari sudah mulai sore, kami terdiam di sebuah halte cukup lama, sekitar tiga jam lamanya, namun tidak satupun ada bus yang lewat.
"Gimana ni Fer? Sudah lama kita nunggu, tapi gak satupun bus ada yang lewat," aku rada panik.
"Sabar, kita tunggu saja."
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menunggu. Untuk menghilangkan penat sesekali Ferdy memainkan gitarnya. Dia menyuruhku untuk bernyanyi, tapi aku menolak permintaannya. Hatiku was-was karena takut tidak bisa kembali, selain itu kedua orang tuaku pasti sangat khawatir sekali. Berbeda sekali dengan Ferdy yang sangat santai dan tidak ada rasa khawatirnya sama sekali. Ferdy sangat tahu betul jika aku tidak tenang, dia memandangiku sesekali tapi aku tidak memperdulikannya. Kemudian dia menyuruhku duduk di sampingnya, aku menerimanya. Dia mengatakan hal-hal yang bisa membuatku tenang. Aku tidak tahu kenapa, tiap kali berada di dekatnya, aku merasakan sesuatu yang bisa membuatku tenang. Kami terlibat dalam sebuah percakapan, sambil menunggu sebuah bus lewat mengantarkan kami kembali.
‘Jingga, kalo boleh nanya, cita-cita kamu, apa sih?," Ferdy bertanya kepadaku
"Kalo ga boleh nanya dan aku ga mau jawab, gimana?"
"Iya ga masalah, ga maksa..tapi aku yakin kamu pasti punya keinginan dan impian. Setiap orang kan punya itu, ga percaya kalo setiap orang ga punya keinginan dan impian. Meskipun terkadang keinginan itu tidak pernah tercapai, tapi kalau kita percaya dan berusaha pasti bisa tercapai."
"Cita-citaku selagi aku masih kecil aku ingin sekali menjadi seorang model terkenal. Itu dulu Fer, sekarang sudah tidak lagi."
Aku berfikir Ferdy akan menertawakanku mendengar pengakuan barusan. Melihat fisik dan nasibku yang seperti ini bagaimana bisa aku menjadi seorang super model seperti Gisele Bundchen dengan bayaran yang tinggi, memiliki segalanya, wajah cantik dan postur tubuh ideal cocok jadi model. Cara berjalan dan pose di depan kamera sudah biasa. Sedangkan aku jauh dari seperti itu, berpose di depan kamera saja aku tidak pernah, cara berjalan seperti model tidak sama sekali aku lakukan. Terakhir hanya melihat di televisi tanpa warna dan rada ada semutnya akibat antenanya yang kurang pas, acara pemilihan miss Indonesia cara jalan melanggang di atas stage para kontestannya, itupun aku lihat di tempat aku biasa membeli makan.
"Jadi model?.... Bisa terkenal, setiap berpenampilan dan gaya ditiru oleh banyak orang, dipotret sana-sini."
Ternyata aku salah, Ferdy tidak menertawakanku atau menghina-hina aku, malah sebaliknya dia mendukungku dan memberiku semangat. Meskipun aku rasa mustahil bakal terjadi dan aku membuang impianku itu jauh dan sejauh mungkin, itu hanya sekedar keinginan yang tidak akan pernah aku raih. Bagaimana mungkin bisa aku menjadi seorang model, buat beli makan dan minum saja sulit, pakaian hanya memiliki tiga potong. Selalu berada di jalanan.
Entah apa yang ada di pikiran Ferdy, mengapa dia sangat baik sekali dengan aku, sering memberiku semangat dan perhatian yang terkadang aku merasa sedikit risih.
"Kalo kamu pikir, masih ga, aku bisa menjadi seorang model?,"aku bertanya sekedar basa-basi
"Jingga, kamu cantik dan postur kamu tinggi, kamu bisa menjadi seorang model, bahkan seorang super model. Aku tahu kamu kurang percaya diri dan tidak kamu sadari kalo diri kamu itu cantik."
Aku nyengir, sama sekali tidak mempercayai kalimat yang diucapkan oleh Ferdy barusan, kalimat yang sekedar untuk basa-basi mengisi waktu luang agar suasana tidak garing saja. Tapi benar apa yang dikatakan oleh Ferdy, aku tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena aku sadar dengan posisiku, dan  terlalu berhayal terlalu tinggi yang tidak mungkin terwujud.
Rintik-rintik hujan turun sedikit-demi sedikit membuat dingin keadaan, mulai dari tadi menunggu bus masih belum menampakkan tanda-tanda akan datang, aku tetap semakin asik ngobrol dengan Ferdy. Kami terkadang serius dan sesekali tertawa, aku tahu kedua orang tuaku pasti sudah sangat khawatir sekali, tidak ada yang bisa kami perbuat lagi selain satu-satunya hanya menunggu bus. Naik angkot itupun tidak mungkin, angkot tidak bisa mengantarkan ke tempat tujuan kami.
"Jingga, kamu menggigil?."
"Tidak Fer, hanya....,"belum sempat melanjutkan kalimatku, Ferdy memotong kalimatku.
"Tidak Jingga, kamu menggigil, aku tahu itu."
Ferdy sedikit panik melihat keadaanku.
Ferdy melepas jaket yang dikenakannya, menyuruhku untuk memakainya. Kemudian Ferdy memelukku begitu lembut, tubuhku roboh di tubuh Ferdy, begitu hangat yang aku rasakan, mataku mulai kabur, dan aku dalam kepayahan tak berdaya.
***
Keesokan harinya
Aku terjaga dari tidur, sedikit kaget, karena aku sudah berada di rumah, padahal terakhir aku berada di halte bersama Ferdy.
Tiba-tiba suara ibu mengejutkanku
"Jingga, ayah dan ibu berangkat dulu, kalo kalo kamu makan, itu ibu sudah siapkan di tempat biasa."
"Iya, bu."
Yang membuat aku teheran-heran, mengapa ibu tidak marah-marah padaku, setidaknya ceramah panjang lebar karena aku membuat khawatir mereka.
Sebelum berangkat ibu memberi kecupan dikeningku seperti biasa yang dia lakukan. Belum sempat meminta penjelasan bagaimana aku bisa berada di rumah, kedua orang tuaku sudah pergi untuk memulung. Aku tahu pasti Ferdy yang membawaku, dia kan yang bersamaku kemarin, kalo bukan dia siapa lagi? Tapi yang tidak abis pikir bagaimana dia tahu rumahku, padahal selama ini aku dan dia hanya bertemu di tempat kami mengamen, aku juga tidak pernah mengajaknya bermain ke rumah orang tuaku? Apalagi mereka, tidak mungkin mereka pernah mengajak Ferdy ke rumah sebelumnya, Ferdy ketemu dengan kedua orang tuaku juga di tempat biasa aku mengamen, itupun dua kali mereka bertemu.
"Arrrghh, bodoh...yang jelas aku selamat sampai rumah!!!,"cetusku
Aku bergegas membersihkah tubuh, saat aku hendak melepas pakaianku yang aku kenakan, aku teringat sesuatu, ada yang tidak biasa.
"Ini kan jaket Ferdy"kataku dalam hati
Aku tersenyum sendiri, kemudian mulai membersihkan tubuhku. Setelah semuanya beres, aku pergi mengamen. Sudah bisa aku tebak, Ferdy sudah berada di sana terlebih dulu, aku melihat dia sedang duduk di pot bunga sambil asik bermain-main dengan gitarnya. Belum sempat aku menyapa, dia lebih dulu menyapa aku, wajahnya berseri-seri terlihat jelas.
"Eh..akhirnya kamu muncul juga, lama banget aku nunggu kamu, molor mulu Non," katanya menggodaku.
"Seneng banget kamu........tumben sekali sebegitu cerianya, mau ngajak aku ngamen di bus lagi? Kali ini aku tidak akan mau menuruti kemauanmu lagi, aku sudah kapok...kalo kamu mau ngamen di bus, ngamen saja sendiri."
"Jangan marah dulu.....siapa lagian yang mau ngajak ngamen di bus?"
"Lalu?," aku penasaran
‘Makanya tenang dulu...aku punya kejutan untuk kamu."
"Kejutan? Seumur-umur tidak ada yang mau ngasih aku kejutan."
Ferdy mengangguk, karena rasa penasaran apa yang akan diberikan Ferdy untukku, aku jadi lupa suatu hal yang ingin aku tanyakan tentang kemarin bagaimana aku bisa sampai di rumah.
"Kamu janji ya, mau ngelakuin untukku dan untukmu sendiri."
Aku terdiam sejenak dan berfikir, apa yang bakal diberikan untukku, bikin penasaran sekali.
"Tidak!!!...Kalo kamu macem-macem."
"Tidak kok.........tidak macem-macem, hanya hal kecil.........janji dech."
Aku sangat penasaran dan tertarik untuk menyetujui permintaannya.
"Baiklah......tapi kalo macem-macem aku tidak mau ngelakuin apapun."
"Oke...oke.......deal?"
"Deal," kataku
Kami berdua berjabat tangan sebagai tanda bahwa kami saling sepakat.
Tiba-tiba Ferdy menarikku, bergegas terburu-buru. Tampaknya dia ingin membawaku ke suatu tempat, aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, kami berlari menyeberangi jalanan. Melewati jalanan yang tidak pernah aku kunjungi sebelumnya.
"Jingga, mana gitarmu?," pintanya
"Untuk apa Fer?"
"Udah tenang saja....tidak aku apa-apain ko......aku jamin aman."
Mendengar kalimat barusan aku percaya, memberikan gitarku padanya. Aku mulai sedikit lelah karena berlari. Jika saja aku tidak berjanji, aku tidak akan melakukan hal ini.
Sejenak kami berhenti di depan toko.
"Tunggu di sini ya."
Ferdy menuju ke sebuah rumah yang berada tepat di seberang jalan, tampaknya dia kenal betul siapa pemilik rumah itu, dia titipkan gitarku dan gitarnya pada orang tersebut. Kemudian dia menerima sesuatu dari orang itu. kami berlari lagi tak tahu tujuannya kemana, Ferdy sepertinya sudah merencanakannya sebelumnya.
"Kamu lelah ya, kalo lelah tahan bentar, karena tinggal beberapa belokan lagi kita sampai."
Aku nurut saja apa katanya.
"Nah...... sudah sampai,"
Aku lega akhirnya sampai juga. Aku ngos-ngosan dan ambil nafas panjang, tidak sempat untuk duduk Ferdy menyeretku masuk ke tempat yang tidak pernah aku kunjungi. Dan aku tidak pernah perduli sama sekali dengan tempat itu, suatu tempat yang tidak asing untuk kebanyakan wanita, tempat untuk mempercantik diri, sebuah salon.
"Salon? Untuk apa kamu bawa aku ke tempat ini Fer....?"
"Udah tenang saja...kamu kan sudah janji akan ngelakuin apa yang aku katakan."
"Tapi..."
"Untuk kali ini saja Jingga, please," Ferdy memohon.
Kusetuju, aku duduk di depan cermin berukuran besar yang membuat wajahku dan seluruh badanku terlihat jelas. Aku jadi malu melihat diriku sendiri, dan mulai berfikir, mungkin Ferdy tidak suka melihat wajahku yang lusuh ini atau dia males ngeliat aku yang tidak bisa dandan, jadi dia membawaku ke tempat ini. Aku ambil sisir yang berada tepat di hadapanku, kugunakan untuk menyisir rambutku yang kaku, nyaman sekali rasanya.
"Pasti mahal,"kataku dalam hati.
Sedangkan Ferdy menungguiku di depan sambil membaca majalah yang sudah disediakan oleh pemilik salon. Seorang wanita cantik kira-kira berumuran 28 tahun datang menghampiri Ferdy, percakapan terjalin antara mereka, aku hanya melihat Ferdy mengangguk-angguk sebagai tanda dia setuju. Setelah bercakap-cakap wanita itu menghampiriku.
"Selamat pagi," sapanya kepadaku sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya.
"Sudah siap di make over?,"katanya
Aku hanya diam, tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya barusan. Aku belum sempat menanyakan dan memberikan jawaban, dia sudah mulai mengambil peralatan dan bahan kecantikan. Dia menyuruhku memejamkan mata dan tidur terlentang di kasur khusus untuk perawatan tubuh, dia mulai memainkan tangannya, melumuri wajahku dengan bermacam-macam cream perawatan kecantikan, rambutku yang panjang dibikin sedikit berombak. Hampir tiga jam aku didandani, seluruh tubuhku menjadi kaku.
"Oke...sudah selesai."
Aku belum lihat bagaimana keadaanku setelah didandani, dia buru-buru membawaku ketempat ruang ganti, dia menyuruhku memakai gaun berwarna putih, indah dan cantik sekali. Aku sempat menolak permintaannya karena aku pikir dia menyuruhku untuk membelinya, terus terang saja aku tidak akan sanggup untuk membayarnya. Kemudian dia menjelaskan semuanya bahwa semua biaya ditanggung oleh Ferdy. Aku terkejut sekali mendengar penjelasannya, bagaimana bisa dan dari mana Ferdy mendapatkan uang.
Aku memakai gaun putih itu, tapi aku tidak tahu hasilnya, wanita itu memberikan reaksi yang salut , lalu mengatakan kalau aku cocok dan cantik sekali menggunakan gaun itu. Tidak sabar ingin melihat diriku di cermin. Aku berdiri di cermin, kupandangi diriku, aku sangat tidak percaya sama sekali dengan diriku sendiri. Hal ini tidak pernah sekalipun aku lakukan.
Jam menunjukkan 9.30, setelah membayar semua perawatanku, Ferdy menghampiriku yang sedang bercermin, dia juga memberikan reaksi yang sama seperti wanita itu.
"Ayo Jingga jangan lama-lama bercermin..kita hampir terlambat." ajaknya.
Aku bingung, ternyata permintaannya belum selesai, aku kira dia hanya minta diriku untuk menggunakan gaun ini.
"Kita mau ke mana lagi Fer..........?," tanyaku
Ferdy tidak memberikan jawaban, malah menggandengku keluar dari salon, kemudian memanggil tukang bemo.
"Bemo....bemo...bemo......"
Bemo berusia tua menghampiri kami, seorang sopir menanyakan pada kami ingin pergi kemana.
"Antarkan kami di mall ujung sana itu pak," kata Ferdy sambil menunjuk mall yang dimaksud
"Ayo jingga, naik"
Sebuah bemo berangkat mengantarkan kami ke sebuah mall terbesar di Jakarta itu. Aku tidak tahu apa yang di rencanakan oleh ferdy, pikiranku menebak-nebak. Mungkinkah Ferdy mengajakku ngedate, oh sweat sekali, jadi malu. Selama perjalanan aku pandangi wajah Ferdy, dia gugup sekali, aku jadi tambah bingung. Aku jadi ingin tahu apa yang akan dilakukannya, aku mulai memberanikan diri untuk meminta penjelasannya.
"Fer, jujur dech ....sebenarnya kamu tuh mau apa sih...jangan-jangan kamu ingin ngejual aku pada om-om ya?"
Ferdy ketawa, mendengar perkataanku barusan, sedangkan pak sopir ngeliat kami yang sedang ribut lewat kaca bemonya.
"Ha..ha ha...tidak sejahat itu aku, Jingga, tidak mungkin aku ngejual kamu yang sangat cantik gini, kecuali kalo kamu galak-galak aku tega ngejual kamu."
Ferdy dan pak sopir sama-sama ketawa, aku malu dibuatnya.
"Bapak perhatikan dari tadi , ko romatis sekali kencannya," kata pak sopir dengan nada bercanda.
Kami tiba di sebuah mall, Ferdy buru-buru membawaku kelantai tiga menggunakan tangga escalator. Suasana disana ramai sekali oleh pengunjung dan remaja, terlihat juga orang tua yang menggandeng anaknya. Suara musik menanbah maraknya suasana. Seperti ada acara atau festival semacamnya.
"Kamu mau nyanyi di sini, Fer?," tanyaku.
"Tidak Jingga."
Ferdy terdiam sejenak kemudian menjelaskan semuanya tentang kejutan yang akan diberikannya.
"Apakah kamu masih ingat dengan kertas yang diselipkan di kantongku oleh seorang anak kecil...waktu kita mengamen dibus?"
Aku mengangguk
"Kertas itu adalah sebuah undangan untuk acara mengikuti kontes pemilihan model.... Aku jadi berpikir daripada membuangnya. alangkah bagusnya jika kamu mengikuti ajang pemilihan model itu. Ini adalah kado spesial yang ingin aku berikan di hari ulang tahu kamu."
"Hari ulang tahunku?" aku terkejut
"Iya jingga, masa kamu ga ingat...sekarang adalah hari ulang tahun kamu," Ferdy meyakinkanku
Jujur saja aku tidak pernah merayakan hari jadiku. Tidak ada orang yang mengingatkanku dan tidak pernah ada orang memberikanku sebuah kado di hari ulang tahunku, baru Ferdy seorang yang pertama kali ingat dan memberikan aku sebuah kado.
"Bagaimana kamu tahu kalau sekarang aku berulang tahun?"
"Saat kamu tertidur di halte, tidak lama kemudian sebuah bus datang. Sebenarnya aku ingin membangunkan kamu, aku pikir tidak perlu, kamu terlalu pulas....jadi aku membopong kamu naik kedalam bus. Saat kita sampai, aku melihat kedua orang tuamu di tempat kita mengamen, aku memanggilnya dan menjelaskan semuanya jika kamu berada bersamaku ngamen di bus. Aku kasihan melihat kedua orang tuamu sepertinya sangat capek, jadi aku yang menggendongmu sampai rumah. Saat berada di rumahmu aku tidak sengaja melihat foto kamu yang bertuliskan tanggal lahir kamu."
Karena penjelasannya, aku tahu bagaimana Ferdy tahu rumahku.
"Jingga, kamu bercita-cita ingin menjadi model.....inilah kesempatan kamu menunjukkan kalau kamu bisa menjadi seorang model."
"Tapi, Fer...aku..."
Ferdy memotong
"Sttststs.........aku tidak menginginkan kamu harus menang, kamu ikut saja aku sudah sangat senang, please jangan kamu tolak permintaanku"
Aku pasrah, mengikuti dengan apa kemauan Ferdy.
Ferdy menemui panitia acara, mendaftarkan aku sebagai salah satu peserta dan memberikan kertas undangan itu.
Tidak lama kemudian acara dimulai seorang MC naik keatas panggung menyapa kontestan dan pengunjung mall, memanggil nama-nama kontestan. Aku gugup sekali, tidak tahu apa yang harus aku lakukan sama sekali tidak ada persiapan.
"Acara sudah mulai, kamu pergi gabung sama kontestan yang lain," kata Ferdy
"Kamu?"
"Tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kamu...aku tunggu di meja sana."
Aku bergabung dengan kontestan yang lain. Aku tahu mereka semua berbeda dengan aku, semuanya anggun dan cantik-cantik, aku minder dan tidak percaya diri. Satu persatu kontestan menunjukkan kelihaiannya berjalan di panggung layaknya seorang model terkenal. Aku mengumpulkan keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Aku mesti bisa dan aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri, serta tidak ingin membuat Ferdy kecewa. Ferdy senyam-senyum memeperhatikanku disana. Aku tidak sabar segera naik keatas panggung, ingin semuanya segera selesai dan berakhir, tidak tahan dengan semuanya yang aku alami gara-gara permintaan bodoh Ferdy.
Tibalah giliranku naik keatas panggung dan berjalan seperti model. Kulihat pandangan para juri yang kurang begitu suka melihatku, mungkin aku terlihat anak yang norak dan tidak memiliki suatu kemampuan untuk menjadi seorang model. Tapi aku harus melakukan, karena terlanjur berjanji sama Ferdy, setidaknya aku suka dia tersenyum. Kubuang rasa takutku, tidak tahu darimana asalnya, aku begitu percaya diri berjalan, seperti ada yang menuntunku untuk bergaya di depan sorotan kamera. Melenggang mempertunjukkan body language-ku, yang aku pikir sangat kampungan. Aku tak perduli juri mau memberi nilai aku apa, yang jelas aku sudah menepati janjiku, dan menerima kado Ferdy, meski dengan berkorban. Ku menghargai sifat baik Ferdy.
Rasa senang sekali ketika aku menuruni panggung setelah bergaya diatas panggung, lega rasanya setelah melakukannya. Aku menghampiri Ferdy dan memukulnya karena merasa gregetan padanya.
Para juri sibuk menilai-nilai untuk menentukan juaranya. Sambil menunggu hasilnya, aku dan Ferdy makan disebuah cafe sederhana yang terletak tidak jauh dari sana. Aku ceritakan perasaanku mengenai apa yang barusan aku lakukan. Ferdy hanya bisanya ketawa mendengarkan celotehanku....cekakacekikikan...aku jadi geli melihatnya.
Setelah lama menunggu, tibalah saatnya pengumuman siapa saja pemenangnya, semua kontestan disuruh naik keatas panggung. Juri mulai membacakan para pemenang dimulai dari kategori terkecil, hingga pada ketiga besar. Alangkah kagetnya ketika juri menyebut namaku sebagai juara utama. Aku tidak bisa bergerak dan berkata-kata, aku tidak percaya sama sekali. Apalagi dengan Ferdy, dia sangat bergembira sekali, dia merasa usahanya berhasil.
Aku menceritakan semuanya kepada kedua orang tuaku, mereka senang sekali dan berterima kasih sekali kepada Ferdy.
Semenjak aku terpilih sebagai juara utama pemilihan model, beberapa bulan kemudian aku jadi sibuk, banyak kontrak kerja yang mesti aku lakukan. Pemotretan sana sini, jadi bintang iklan dan jadi bintang tamu disebuah acara talk show semuanya mengikat, merupakan suatu keharusan yang tidak bisa aku tinggalkan. Perubahan-perubahan dalam hidupku bermunculan, aku sudah tidak mengamen lagi, gitarku masih tetap berada diorang yang dikenal Ferdy. Orang tuaku juga berhenti memulung, aku bisa membeli rumah, membawa kedua orang tuaku kepada kehidupan yang serba tidak kekurangan, hidupku membaik tidak susah lagi. Bagaimana dengan Ferdy? Aku tidak lupa dengan pengorbanan dia. Berkat dia aku bisa hidup seperti ini, aku sekarang berada diatas, ini bukan mimpi, nyata dan benar. Beberapa kali aku tawarkan dia minta apa saja, tapi dia tidak mau. Aku tidak akan melupakan dia dan pengorbanan dia, aku berusaha tidak berubah di mata dia, tetap seorang Jingga yang dia kenal.
Ferdy mendukung semua dengan apa yang aku lakukan, dia senang sekali tiap kali aku mau melakukan sesi pemotretan atau menjadi salah satu bintang tamu di sebuah acara talk show. Hingga beberapa hari kemudian aku bercerita kepadanya, jika aku mendapat tawaran untuk sebuah produk yang mesti melakukan pemotretan di Paris. Ferdy mengiyakan aku untuk ikut, dia antusias sekali, dan menyuruhku untuk tidak menolak tawaran itu. Jika aku menolaknya, dia mengancam tidak mau berteman dengan aku lagi. Tentu saja aku tidak menolak tawaran itu, takut Ferdy meninggalkanku. Meski berat rasanya meninggalkannya dan meninggalkan kedua orang tuaku, bermacam-macam alasan aku lontarkan, agar aku bisa menolak tawaran, tapi Ferdy terus memaksa, membuat aku mengiyakan.
Sehari sebelum berangkat ke Paris untuk melakukan pemotretan aku menemui Ferdy ditempat biasa kami mengamen untuk berpamitan kepada Ferdy. Aku juga titip kedua orang tuaku ke Ferdy. Ada perasaan yang mengganjal melarangku untuk pergi, ada hal yang membuatku berat meninggalkan dia. Tapi aku tidak bisa, aku mesti harus pergi, jika tidak ferdy akan meninggalkanku. Aku mulai menyukai Ferdy, merasakan benar-benar tidak sanggup untuk berpisah dengannya, dia sangat berarti untukku selain kedua orang tuaku.
"Fer, besok aku berangkat ke Paris untuk beberapa minggu," kataku dengan suara pelan.
Dia mengangguk, dan tahu betul dengan keadaanku yang tidak ingin pergi.
"Jingga, pergilah....ini adalah kesempatan kamu, saatnya kamu jadikan impianmu jadi kenyataan....impian yang kamu impikan semenjak kamu kecil, buktikan kalo kamu bisa."
Ferdy tersenyum, memberikan semangat-semangat yang melegakanku untuk meninggalkannya. Aku senang melihatnya, itulah seorang Ferdy, selalu ceria.
Aku dan rombongan pihak agency model berang kat ke Paris, Ferdy dan kedua orang tuaku mengantarkanku kebandara. Kami mengucapkan kalimat perpisahan, Ferdy tetap saja memberikan semangat padahal perasaanku sangat gundah.
Perjalanan lama mengantarkanku ke Paris, dan sekarang aku berada di Paris.
Paris benar kota yang sangat cantik. Tidak salah jika banyak orang bilang Paris adalah kota mode dan romantis. Tidak ada waktu untuk beristirahat, setelah sampai di Paris, aku langsung melakukan pemotretan sana-sini, sangat melelahkan. Managerku mengenalkanku dengan seorang model yang juga asli indonesia namun lama hidup di Paris. Dia mengatakan, jika kami bekerja sama dalam suatu produk dengannya. Komunikasi kami lancar karena kami sama-sama berasal dari Indonesia. Namanya Rania, usianya kira-kira 28 tahun lebih tua empat tahun dariku. Orangnya menyenangkan dan supel sekali, dia banyak cerita tentang dirinya. Yang membuat aku terharu ketika dia bercerita, adik laki-lakinya pergi meninggalkan rumah karena alasan tidak mau pindah ke Paris, sampai sekarang dia tidak bertemu dengan adiknya. Seringnya kami bertemu dalam bekerja sama, kami jadi akrab tidak ada suatu kecanggungan bagi kami berdua, kami saling berbagi.
Sudah lima hari kami melakukan pemotretan, aku jadi sedikit melupakan Ferdy dan kedua orang tuaku. Bodohnya aku, meskipun aku sudah cukup mapan, aku tidak memiliki sebuah handphone, jadi tidak bisa menghubungi mereka, hanya doa dan rasa rindu yang aku utarakan melalui udara dingin paris, semoga mereka juga merindukan aku.
Habis melakukan pemotretan aku punya waktu beberapa jam untuk istirahat. Aku ajak rania untuk membeli sebuah handphone, dia pasti sangat tahu betul dimana aku harus membeli karena dia lama dan tahu betul dengan kota Paris. Kami mengunjungi pusat perbelanjaan, dan membeli handphone, juga tidak lupa aku juga membelikan satu untuk Ferdy.
"Banyak sekali kamu beli handphone," Kata rania
"Tidak untukku semua."
"Buat orang spesial ya? Pasti pacar," dengan nada menggoda.
"Tidak....hanya untuk seorang yang sangat berjasa dalam hidupku."
Setelah kami mendapatkan beberapa handphone kami balik ke tempat pemotretan. Selang beberapa menit kemudian, handphone Rania berbunyi, setelah berbicara beberapa kata wajah Rania berubah, yang sebelumnya sangat senang sekali berubah sedih. Dia memutuskan harus pergi segera, tidak bisa melanjutkan pemotretan, segera balik ke indonesia. Adiknya telah ditemukan dalam kondisi yang kritis karena mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di unit gawat darurat. Apa boleh buat aku harus jadi model suatu produk sendirian, aku dan kru yang lain maklum dengan keadaan Rania, jika aku jadi dia, aku juga melakukan hal yang sama seperti apa yang dia lakukan. Sebelum pergi Rania memberikan nomor handphonenya, aku segera mencatatnya.
Setelah beberapa hari Rania balik ke Indonesia, aku juga balik ke Indonesia. Itu artinya aku telah menyelesaikan semua tugasku sebagai seorang model. Aku sudah tidak sabar sekali ingin segera bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga Ferdy. Kangen dengan masakan buatan ibu, kangen dengan candaan Ferdy, dan kangen dengan tanah kelahiranku. Perasaanku berbunga-bunga senangnya tak kepalang, banyak cerita yang mesti mereka dengar dariku.
Sore hari aku tiba di bandara, di temani dengan hujan rintik-rintik, rupanya kedua orang tuaku sudah menunggu ditempat penjemputan, langsung kupeluk mereka. Mereka ingat betul kapan aku memberitahukan kalo aku balik ke Indonesia. Mereka menunggu sekitar empat jam dibandara, katanya. Aku yakin mereka bosan sekali menungguku. Terasa ada yang tertinggal, Ferdy.. ya dia, kemana dia?.
"Mana Ferdy?," tanyaku
"Sudah empat hari ini kami tidak melihatnya......dia juga tidak kerumah," jelas ayahku
Aku merasa khawatir sekali, apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia pergi meninggalkan aku? Aku tidak mau berlama-lama berada di bandara, bergegas pulang kerumah, dan segera menemui Ferdy, pasti dia sedang asik mengamen hingga lupa untuk menjemputku. Aku jadi ingin marah sekali padanya. Setibanya di rumah, sudah tersedia banyak makanan yang dimasak oleh ibu.
"Wow banyak sekali...di Paris tidak ada makanan kayak gini, disana kebanyakan roti," kataku
"Aduh..aduh anak ibu......jadi kurus begini. Masalahnya karena kebanyakan roti ya....?," canda ibu.
"Ibu...boleh ga aku mengundang Ferdy untuk makan bareng?," pintaku.
"Tentu saja boleh...ibu sangat senang jika dia ada disini. Ibu menganggap dia seperti anak ibu. Iya kan pak?"
Ayahku mengangguk.
Aku berlari menuju ke bawah jembatan layang untuk menemui Ferdy, aku yakin sekali dia berada disana. Setibanya disana aku tidak menemui dia. Aku tanyakan kepada setiap anak jalanan yang berada disana, orang warung langgananku, dan pedagang-pedagang asongan, tapi yang aku dapatkan hanyalah reaksi gelengan kepala sebagai tanda mereka tak tahu. Badanku sangat capek sekali, sejak balik dari Paris, aku tidak lanjut untuk mencari Ferdy, memutuskan balik kerumah.
Beberapa hari ini aku tidak menemukan Ferdy, entah dimana dia berada, dan sedang apa yang dia lakukan. Aku hanya terdiam dirumah, berbaring ditempat tidur sambil berfikir berharap Ferdy segera kembali, aku merasakan suatu kehilangan yang sangat besar dan berartinya dia bagiku. Kuambil handphone yang ingin aku berikan kepadanya, aku mengotak-atiknya, memencet-mencet setiap menu yang ada, berharap sekali handphone ini dibawah oleh Ferdy, sehingga aku bisa menanyakan banyak hal dan bercerita padanya. kutulis no handphoneku di direktori handphone itu. Kemudian ku matikan.
Aku selalu membawa handphone itu tiap kali aku keluar rumah.
Saat aku ingin memejamkan mata, dering handphoneku berbunyi, terlihat nama Rania. Dia memeinta maaf kepadaku karena tidak bisa melanjutkan pemotretan, serta menanyakan keberadaanku. Aku juga menanyakan padanya mengenai keadaan adiknya, dia terdiam kemudian menangis sesenggukan, aku tidak tega mendengarkan.
"Besok sudah bisa di bawa pulang kerumah, kata dokter," kata rania dengan terbata-bata
Dari suaranya aku sangat yakin, keadaan adiknya tidak begitu baik.
"Aku senang, adikmu sudah baikan, boleh ga aku besok menjenguk adikmu?"
"Iya, boleh..."
Aku tanyakan alamat rumahnya, setelah memeberikan alamat rumahnya padaku, percakapan kami berakhir.
Besoknya, aku cari-cari mengelilingi tiap komplek yang sesuai dengan alamat rumah Rania yang dia berikan padaku, muter-muter kutanyakan pada tiap orang yang aku temui.
"Tahu alamat ini pak?," tanyaku.
"O....,neng jalan lurus kemudian belok ke kanan, tiga baris dari depan, itu rumahnya,' kata seorang laki-laki tua.
"Terima kasih pak."
Aku melanjutkan perjalanan.
Sebuah rumah megah berpilar tinggi, sangat mewah seperti istana, disitu alamatnya. Kemudian ku pencet bel yang menempel di dinding. Seorang pelayan keluar membukakan pintu dan menyakan siapa dan keperluanku. Setelah ku jelaskan aku dipersilahkan masuk dan duduk menunggu rania di ruang tamu.
Tidak lama kemudian dia datang.
"Hai ..Jingga," dia menyapa sambil memelukku.
Aku senang sekali dapat bertemu dengannya.
"Sendirian?"
Aku mengangguk, kami sedikit mengobrol sebelum aku bertemu dengan adiknya. Selang beberapa menit Kemudian dia membawaku untuk menemui adiknya.
Adiknya sedang duduk di kursi roda dekat kolam renang, terdiam termenung sendirian. Aku mendekati dirinya, sepertinya aku kenal sekali dengan sosok itu, tidak asing bagiku. Ferdy.... mungkinkah dia? Hatiku kuat mengatakan kalau itu Ferdy. Setelah dia menoleh kearahku, ternyata aku salah, dia bukan seorang yang aku kenal. Dia hanya diam, tak berkata apa-apa, aku mengerti dengan keadaannya. Sangat tragis keadaannya, gara-gara kakinya di amputasi, dia mesti berjalan memakai kursi roda. Sangat sulit baginya melihat kondisinya yang begitu.
Aku tersenyum padanya, namun dia tidak membalas senyumanku sama sekali. Rania memandangiku seakan-akan berbicara kalau adiknya sedang putus asa tidak bisa menerima kenyataan pahit ini.
Setelah menjenguk adiknya, aku tidak berlama-lama berada di rumah Rania. Aku mesti pulang kerumah. semenjak aku kehilangan Ferdy, aku males jalan-jalan sendirian atau bersama yang lainnya, aku kangen sekali dengan Ferdy.
***
Setibanya dirumah, aku langsung masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar aku membayangkan segala hal mengenai awal pertemuanku dengan Ferdy, ketika ngamen, makan, bergurau dan jalan bareng. Kenangan lama itu melekat jelas teringat dipikiranku, aku ingin dan rindu sekali seperti dulu lagi, saat aku bersama dirinya, rasa rindu ini bikin sesak dadaku. Dia yang menghiasi hidupku dengan berbagai warna dan rasa, hidupku begitu indah, bahagia berada didekatnya. Aku tidak tahu mengapa dia pergi begitu saja tanpa memberikan alasan yang jelas. Aku bertanya-tanya apakah diriku telah berbuat salah padanya, aku merasa diriku bersalah padanya.
"Tok…tok…tok ....Jingga...Jinga, apakah kamu ada didalam?"
Suara ibu mengetok-ngetok pintu kamarku sedikit mengejutkanku dan membuyarkan bayangan tentang Ferdy
Aku keluar dari kamar menemui ibu.
"Ada apa bu?"
"Ini, tadi ada seorang perempuan menitipkan sebuah undangan untuk kamu."
Aku terima undangan itu, kemudian masuk kembali kedalam kamar. Aku membacanya sekilas tidak terlalu perduli.Tiap minggu aku banyak sekali menerima macam-macam undangan, semua undangan yang datang kubaca acara, tempat dan waktunya saja. Tak perduli itu undangan dari siapa dan untuk acara apa. Terkadang aku salah kostum karena tidak membaca lebih jelas tentang undangan yang datang, tapi aku tidak perduli. Undangan barusan menyebutkan acaranya dilangsungkan dua hari kedepan pukul 10.00 pagi. Setelah membacanya kuletakkan di atas meja riasku.
Seharian penuh aku habiskan hari-hariku didalam kamar. Tiap kali handphoneku berbunyi aku tidak mengangkatnya, ibu khawatir sekali melihat keadaanku yang sedikit berantakan. Dia tahu betul mengapa aku begitu. Sesekali dia marah kepadaku semata-mata agar aku bisa beraktifitas, tidak berdiam diri seperti orang yang tidak sehat, tapi benar, sekarang ini aku lagi tidak sehat penyebabnya karena Ferdy, dialah obat dari rasa sakitku.
Dua hari kemudian
Karena ibu terus memarahi aku yang terus bermalas-malasan di dalam kamar, lama-lama telingaku panas juga. Akhirnya aku ambil undangan yang kuletakkan dimeja rias. Kubaca sekali lagi tempat dimana acara itu akan dilangsungkan, kemudian aku berdandan rapi, memakai gaun putih, aku jadi teringat ketika Ferdy menyuruhku untuk memakai gaun putih untuk mengikuti pemilihan model, indah sekali rasanya hari itu. Aku bergegas berangkat berpamitan ke ibu untuk menghadiri undangan itu.
Aku tahu, pemilik acara adalah orang kaya, terlihat dari bentuk dan design undangan yang mewah, pasti banyak orang yang ga jelas menghadiri acara itu. Setibanya disana, sesuai dengan dugaanku, banyak orang yang ga aku kenal. Aku canggung sekali memasuki ruangan yang sudah penuh oleh para undangan, tidak hanya itu aku semakin canggung karena datang sendiri. Untungnya ada rania, aku sedikit kaget ketika dia menyapaku, ternyata dia juga diundang. Dia datang bersama seorang cowok. Aku berpikir kalau cowok yang sedang bersamanya adalah pacarnya, ternyata tidak. Cowok itu adalah adik keduanya, sedang yang mengalami kecelakaan adik ketiganya.
"Ko...datang sendirian?,” tanya rania
Aku bingung mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Rania itu, belum aku memberikan jawaban dia mengenalkanku pada adiknya
"Oh iya, Jingga, kenalkan, ini adikku namanya Marco......Dia baru saja datang dari London, dan juga baru menamatkan kuliahnya di jurusan bisnis, sekarang dia kerja di Indonesia."
Cowok itu tersenyum ramah kemudian menjabat tanganku.
Tidak tahu mengapa aku dan Marco cepat begitu akrab. Selama acara belum dimulai aku terus bersama Rania dan Marco, kami saling bercerita dari hal yang ga penting sampai hal asmara kita masing-masing. Marco baru saja putus dengan pacarnya, alasannya pacarnya tidak mau jika Marco bekerja dan tinggal di Indonesia. Marco juga menjelaskan bagimana dia bisa sampai hadir di acara itu, acara itu adalah acara pernikahan teman bermainnya sewaktu masih kecil. Marco dan dia akrab sekali, mangkanya dia menghadiri undangan itu. Aku jadi penasaran siapakah temannya itu. Aku jujur tidak tahu siapa pemilik acara dan yang mengundangku untuk menghadiri acara pernikahan itu.
Marco bercerita kalau temannya yang mau menikah itu minggat dari rumahnya, tidak mau dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak orang kaya dari Denmark. Padahal orang tua temannya sudah menjodohkannya sewaktu temannya itu masih balita. Aku sedikit prihatin dan dan sedikit geli mendengarkan cerita Marco barusan.
"Lalu sekarang temanmu?'tanyaku
"Dia setuju dengan perjodohan itu...makanya sekarang dia menikah. Alasannya dia menerima perjodohan itu karena ibunya sakit keras... Dia tidak tega melihat ibunya yang sakit dan menderita, ibunya terus meminta dia untuk setuju dengan perjodohan itu...... Ya, akhirnya dia setuju."
Tidak lama kemudian acara dimulai. Marco tersenyum lebar karena bakal melihat temannya menikah. Aku terus memandang kedepan, semua undangan yang lain juga memandang kedepan tidak sabar untuk melihat kedua mempelai.
Keluarlah kedua mempelai.
Betapa terkejutnya aku.
"Assssstaga......!!!!!!!!!!!!!!!"
Ternyata itu Ferdy, pria yang bersanding dengan mempelai wanita itu benar-benar Ferdy. Aku tak bisa mempercayai semuanya. Badanku seketika mengaku, bibirku tidak bisa berucap, tangan dan kakiku tidak bisa kugerakkan, mataku sediki demi sedikit mengabur, aku mulai mati rasa namun aku berusaha untuk kuat.meskipun hatiku hancur, sangat dan benar-benar hancur.
Air mataku jatuh tak tertahankan, terlihat disana Ferdy terus memandangiku yang tak bisa bergerak, mungkin dia tahu jika aku sangat terpukul sekali dengan kejadian ini. Tuhan mengapa kau hadirkan dia untukku jika pada akhirnya hanya untuk membuatku menderita.
***
Sejak Ferdy hidup bersama istrinya. Hari-hariku ku habiskan bersama Marco, dia yang terus membantuku untuk bisa melupakan Ferdy dan tidak membencinya. Meskipun tak seperti Ferdy, namun Marco setia dan terus memberikan perhatian padaku menemaniku, selalu ada setiap aku butuhkan.
Dua tahun sesudah pernikahan Ferdy, aku melangsungkan pernikahanku dengan Marco. Aku tidak lupa untuk mengundang Ferdy, dia datang bersama istrinya. Meskipun kami sudah menikah kami masih bersahabat. Terkadang Ferdy dan istrinya datang kerumah untuk ngumpul bareng, terkadang aku dan Marco yang datang kerumah Ferdy.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar